Di antara kabut rawa yang mengambang, berdirilah Kerajaan Buaya, kerajaan tua yang kekuasaannya menjulur hingga sungai dan laut. Raja Kalaga, penguasa kerajaan itu, memiliki tiga putra: Gorga, sang sulung yang gagah dan kasar; Marga, si tengah yang cepat namun licik; dan Ranu, si bungsu yang tenang, pendiam, dan mencintai alam lebih dari pertempuran.
Ranu lebih senang menulis di atas daun lontar, mengamati capung yang melayang di atas air, atau menolong burung kecil yang terluka. Karena itu, ia kerap jadi bahan ejekan.
"Kau buaya yang seharusnya dilahirkan sebagai katak!" kata Marga sambil tertawa, diikuti prajurit-prajurit istana.
Raja Kalaga hanya menggeleng tiap melihat Ranu berjalan tanpa tombak. "Dia terlalu lembek untuk memimpin. Biarlah dia menjadi penghibur di istana," ucapnya dingin.
Suatu malam, setelah perayaan kemenangan Gorga dari pertempuran di sungai perbatasan, Ranu pergi diam-diam. Ia hanya membawa jubah rawa, buku kecil dari kulit pohon, dan satu potong roti rawa. Tak seorang pun menyadari kepergiannya... hingga berjam-jam berlalu.
Saat mentari pagi menyinari air rawa, sang Ratu---ibu Ranu---mulai mencari putranya yang biasanya duduk di taman belakang. Tapi yang ia temukan hanyalah buku puisi yang tertinggal di bawah batu.
"Dia tak ada..." bisik sang Ratu dengan cemas.
"Tenang saja," sahut Raja Kalaga dengan acuh. "Dia akan kembali. Atau mungkin tidak. Tapi itu bukan urusan penting."
Ratu menahan air mata. Ia tahu Ranu anak yang lembut, tapi bukan lemah. Ia tahu anaknya merasa tidak diinginkan di rumahnya sendiri.
---