Tanggal 2 Mei selalu menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. Hari ini bukan sekadar seremoni, melainkan ruang refleksi bersama tentang sejauh mana kita melangkah dalam perjalanan panjang mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kini, lebih dari satu abad sejak Ki Hadjar Dewantara menyuarakan gagasan “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, dunia pendidikan Indonesia memasuki era baru: era digital, disrupsi teknologi, dan globalisasi. Namun, di balik segala tantangan dan kemajuan, pertanyaan mendasar harus terus kita ajukan: Apakah pendidikan kita benar-benar berkualitas dan berkeadilan? Apakah ia mampu membawa kita menuju Indonesia Emas 2045?
Indonesia Emas 2045: Mimpi Besar yang Butuh Pondasi Kuat
Indonesia Emas 2045 adalah visi kolektif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju dan sejahtera tepat satu abad kemerdekaannya. Salah satu pilar utama visi tersebut adalah pendidikan berkualitas. Pendidikan bukan hanya alat untuk menghasilkan tenaga kerja terampil, tetapi sarana untuk membentuk manusia Indonesia yang berkarakter, kritis, inovatif, dan berdaya saing global tanpa kehilangan jati dirinya.
Pendidikan berkualitas harus mampu menyentuh semua lapisan masyarakat. Ia tidak boleh menjadi hak eksklusif mereka yang tinggal di kota atau berasal dari keluarga mampu. Pendidikan harus menjangkau anak-anak di pelosok, yang belajar di ruang kelas sederhana, bahkan di bawah pohon. Kualitas dan akses harus berjalan beriringan.
Realita dan Refleksi: Sudah Sejauh Mana Kita?
Kita patut mengapresiasi berbagai langkah reformasi pendidikan: Kurikulum Merdeka yang memberi ruang kreativitas, digitalisasi pembelajaran, hingga peningkatan kesejahteraan guru. Namun, tantangan juga masih nyata: kesenjangan kualitas antar daerah, rendahnya literasi dan numerasi, serta kurang meratanya pelatihan guru dan fasilitas pendidikan.
Lebih dalam lagi, kita perlu merefleksikan kembali tujuan pendidikan itu sendiri. Apakah kita masih terjebak dalam sistem yang mengejar angka dan ranking? Atau sudahkah kita membentuk generasi pembelajar sepanjang hayat yang berpikir kritis, solutif, dan peduli terhadap lingkungan serta sesama?
Pendidikan Berbasis Nilai dan Konteks Lokal
Menuju 2045, kita juga harus mulai membangun pendidikan yang kontekstual dan berbasis nilai. Pendidikan yang menghargai kearifan lokal, seperti etnopedagogi, bisa menjadi cara untuk menanamkan karakter kuat dalam diri siswa. Mereka tidak hanya diajarkan untuk "menjadi pintar", tetapi juga menjadi manusia Indonesia yang utuh—beretika, peduli, dan membumi.