Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Butuhnya Kepercayaan, Dikasihnya Buzzer

17 Juni 2020   08:58 Diperbarui: 17 Juni 2020   08:59 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil olahan penulis | Gambar utama: Pixabay

Kalau pemimpinnya tidak cuma mesem-mesem, dadah-dadah dari jauh, dan datang kepada rakyatnya hanya kalau sedang sakau politik, pasti rakyatnya manut. Kalau tidak, ya jangan memojokkan rakyatnya.

Kalau aparatnya tidak pernah semena-mena dan lebih suka pakai hati ketimbang belati, warganya pasti ikut aturan dan rela diatur. Kalau tidak, ya jangan salahkan apalagi menghukum warganya.

Kalau asbabunnuzul aturannya jelas, sebab-akibatnya akurat, dan keterpaduan penyampaiannya pasti penduduknya taat. Kalau tidak, ya jangan salahkan penduduknya.

Kalau ada seorang suami yang marah-marah karena ditegur tidak boleh duduk bersampingan dengan istrinya di dalam kendaraan lantaran melanggar aturan pencegahan, menurut saya itu wajar. Ya, karena aturannya enggak masuk akal.

Saya enggak bilang itu aturan yang buruk. Toh, tujuannya juga bagus. Cuma, ya, enggak masuk akal.

Pertama, kita ini kan memang manusia yang bener-bener pandai menggunakan akalnya. Makanya, ada istilah ngakali. Artinya, kalau ada budaya semacam itu, sebuah aturan yang dibuat, ya, jangan sampai punya celah untuk diakali, kalau tak ingin dibilang aturan tak masuk akal. Atau sekurang-kurangnya disebut aturan setengah-setengah.

Katakanlah pasutri tadi tahu dan menaati aturan itu. Ketika berangkat dari rumah dengan mobil pribadinya yang entah ke mana tujuannya, katakanlah ke sebuah swalayan, dan tahu ada aturan pencegahan di titik tertentu, maka, si istri pasti akan lebih memilih duduk di belakang.

Namun bukan karena turut andil dalam pencegahan, melainkan duduknya istri di belakang hanya sekadar menghindari sanksi.

Ditambah, kemungkinan, dalam benak keduanya aturan ini hanya akan tegas di titik dan dalam radius tertentu saja.

Lagipula memangnya siapa sih yang bisa mantau aktivitas tiap warga tiap detik?

Atau kedua. Kalau ini yang paling enggak masuk akal: Bagiamana mungkin tidak boleh duduk bersampingan di mobil, kalau mereka saja tinggal satu rumah, bahkan tidur seranjang?

Masak, ada aturan yang melarang duduk di mobil bersampingan sedangkan tinggalnya masih satu rumah dan tidurnya seranjang. Ngawur ra karu-karuan, toh?

Nah saran saya sih para pemimpin ini kalau mau buat aturan, bikin kebijakan, mbok, ya, jangan setengah-setengah. Kan, kerja pemimpin itu tercermin dari aturan atau kebijakannya.

Eh, tapi susah juga, sih. Persoalannya bukan di aturan, melainkan kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya.

Alih-alih membangun kepercayaan, ealah malah sewa buzzer. Ya buat apalagi kalau bukan poles citra.

Tapi boro-boro poles citra, sewa buzzer malah makin negesin kalau pemimpinnya tak bisa percaya.

Kebetulan salah seorang pendengung pernah buka suara mengenai pengalaman dan apa saja yang dikerjakannya. Bahkan terang-terangan ia bicara soal bayaran seorang buzzer.

Ia menceritakan, sudah tiga tahun menjalani profesinya sebagai pedengung. Ia mengaku mengenal industri ini berawal dari rekan-rekannya sesama blogger.

Mulanya ia hanya aktif mengulas produk dan content placement. Kemudian, katanya, ia tertarik menyelami dunia ini hingga merantau ke Jakarta.

Dua bulan di Jakarta ia mendapat orderan pertamanya melalui undangan sebuah agensi untuk hadir di sebuah acara pemerintahan, untuk kemudian menuliskan acara di blog pribadinya.

"Saya juga diminta berkampanye melalui akun media sosial pribadi tentang percakapan diskusi. Acara ini merupakan momen pertama kalinya saya mendengungkan program pemerintah," tulisnya.

Selain kegiatan, ia juga menceritakan bagaimana cara kerja pendengung itu berdasarkan permintaan kliennya.

Biasanya para pendengung akan mengicaukan seusatu diikuti dengan tagar tertentu secara membabi buta dan dalam waktu tertentu pula. Biasanya 1--2 jam. Bila cara itu tak berhasil, masih ada cara lain.

"Cara lain yang dilakukan agar menjadi trending topic menggunakan "kuis giveaway". Metode ini minim tenaga dan ongkos," ungkapnya.

Cara tersebut dilakukan tak lepas dari klien itu sendiri dengan menilai keberhasilan seorang pendengung berdasarkan tagar yang masuk ke dalam trending topic di Twitter.

Kemudian, ingkat kata, sampailah pada urusan bayaran. Rupanya, diungkapkan pendengung ini bayaran menjadi seorang pendengung itu hanya bisa dipakai untuk sekali kencan!

Untuk cerita utuhnya bisa baca di sini ya.

Masa sih cuma buat sekali kencan?

Saya sendiri pernah mendapat tawaran sejenis dari teman untuk melakukan kerjaan ini. Karena penasaran pengin tahu bagiamana kerjanya, jadi saya iyakan tawarannya.

Saya berdengung untuk sebuah produk servis milik swasta. Waktu itu sedang ada campaign untuk objektif tertentu.

Tapi, sih, saya menduganya karena ingin mendongkrak citra. Karena sebelumnya produk servis ini sedang diterpa isu tak sedap. Maka butuh didongkrak citranya.

Seperti cerita pendengung tadi, cara kerja yang saya lakukan kurang lebih sama. Mengicaukan apapun sesuai campaign---terkadang sudah ada templatenya---dengan tagar tertentu.

Tujuannya jelas, biar menjadi trending topic di Twitter. Durasinya juga kurang lebih sama, 1--2 jam. Plus, ada meme-nya, sesekali. Untuk variasi kicauan sekaligus menarik perhatian.

Bayarannya bagiamana?

Untuk bayarannya, seperti kata pendengung tadi, hanya cukup untuk sekali kencan (di kaki lima).

***

tulisan ini sudah pernah ditulis di blog pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun