Kendati begitu, pemerintah hanya berhasil 'mengamankan' 972 eksemplar dari total peredaran 20 ribu eksemplar.
"Orde Baru berpikir bahwa masalah selesai ketika naskah asli itu disita. Tentu saja itu keliru," kata Pram dalam wawancara dengan Kees Snoek, utusan Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Wawancara itu kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu berjudul Saya Ingin Lihat Ini Berakhir.
Tingkah laku Orde Baru yang membumihanguskan ratusan eksemplar tadi membuat Pram marah besar. Bahkan secara terang-terangan dirinya mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap penguasa ketika itu, Soeharto.
Pram bahkan tak ragu menyebut mantan orang nomor satu di Indonesia itu sebagai penjahat kemanusiaan.
"Berdasarkan pengalaman saya sendiri, Suharto adalah penjahat kemanusiaan," katanya seperti penulis kutip dari artikel harian Jawa Pos berjudul Soeharto Tidak Mungkin Diadili, Senin, 12 April 1999.
"Yang mengangkat saya menjadi PKI itu kan Orba, yang kemudian dikembangkan oleh pers Orba. Saya ini PKI nomor berapa? Hanya Orba saja yang bikin-bikin itu, yang lalu dikembangkan pers Orba. Kan komunis semua mempunyai tanda keanggotaan. Tidak ada yang pernah bisa menjawab," ungkapnya.
Meski, suatu ketika, Soeharto pernah menyurati Pram. Mengutip Kompas edisi November 1973 yang dilansir Detik.com, surat yang diserahkan Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo kepada Badan Pengelola Resettlement Pulau Buru (Bapreru) Brigjen Wadli berisikan:
"Kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar. Namun kewajaran ini harus pula ada kelanjutannya yang wajar, yakni kejujuran dan keberanian untuk menemukan jalan yang lurus dan dibenarkan," tulis Soeharto.
Bersamaan dengan surat itu ada pemerintah juga menitipkan bingkisan buku, di antaranya terdapat buku Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), meski pada praktiknya permintaan maaf dari penguasa Orde Baru tak pernah datang ke dirinya.
Baru pada 1999, saat Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur, sempat meminta meminta maaf kepada korban dari Gerakan 30 S/PKI, termasuk kepada Pram, serta menyatakan tidak keberatan membuka kembali kasus tersebut.
Hanya saja penulis Nyanyian Sunyi Seorang Bisu ini menganggap permintaan maaf Gus Dur sekadar basa-basi.