Mohon tunggu...
Ibnu Rustamadji
Ibnu Rustamadji Mohon Tunggu... Freelance -

Seorang anak desa yang senang mencoba hal-hal baru, meskipun harus mengalami apapun yang harus dialami.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kasih Sayang Keluarga akan Kita Temukan Ketika Melakukan Perjalanan Seorang Diri

26 April 2018   21:46 Diperbarui: 26 April 2018   22:04 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (indoorcoverage.com)

"Bhinneka Tunggal Ika" merupakan simbol persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Indonesia. Indonesia dikenal dengan negara yang beraneka ragam kebudayaan, suku dan agama yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dengan keberagaman suku, agama, ras dan golongan yang ada di Indonesia, kita diajarkan untuk menghargai pluralisme untuk menguatkan jati diri bangsa Indonesia yang multikultural dan pluralisme. 

Sebagai sebuah bangsa yang di dalamnya terdapat masyarakat majemuk, kita dituntut untuk saling belajar menghargai satu sama lain. Salah satu bentuk menghargai perbedaan yang ada diantara masyarakat, dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dikarenakan setiap individu hidup dengan cara bersosialisasi dan bekomunikasi. Tanpa adanya sosialisasi dan komunikasi kehidupan setiap individu pastinya tidak akan berjalan dengan baik.

Pengalaman adalah guru kehidupan terbaik.

Saya bernama Ibnu Rustamadji biasa dipanggil dengan Benu dan saya asli Boyolali Jawa Tengah, saat ini memiliki beberapa teman dari Tionghoa yang saat ini berdomisili di beberapa daerah di Indonesia. Berawal dari komukasi dan bertatap muka setiap ada kesempatan, saya akhirnya bertemu dengan teman yang notabene adalah masyarakat Tionghoa dari Solo yakni Ci Ratna Setyaningrum. Setelah sekian lama berjumpa dan sering keluar bersama akhirnya kami semakin erat, tanpa berfikiran apapun satu sama lain. Seiring berjalanya waktu kami berdua berjumpa dengan salah satu warga Tionghoa lain yakni Ko Halim Santoso.

Tidak hanya di Solo juga terdapat beberapa teman lainya yakni Ci Ling-Ling, Ko Ardian Changianto, Om Heng Tiong, Om Basuki, Ko Hogi dan beberapa teman lain. Mayoritas tinggal di Semarang dan sekitarnya, karena apa? Semarang merupakan Ibukota Jawa Tengah dan pusat persebaran Tionghoa pertama di pedalaman Jawa. Saat pertama kali jalan-jalan ke Semarang bersama Ci Ratna, Ko Halim dan Lengkong Sanggar dari Purworejo kami pertama keliling seputaran pecinan Semarang tanpa terfikirkan apapun.

Hari pertama pun dimulai dan setelah perjalanan 1 hari full selesai kami memutuskan istirahat di Caffe Spiegel di Kota Lama, pada hari pertama karena kami disana selama 3 hari 2 malam. Hari berikutnya kami kembali berjalan menyusuri kawasan pecinan lagi, hal ini dikarenakan beberapa tujuan kami berada di sekitaran pecinan. Tepat sekitar pukul 15.00 kami berjalan di depan rumah milik warga Tionghoa, yang memiliki warung kopi. Tanpa membuang waktu kami bergegas membeli kopi dan mencoba untuk "mengetuk" pintu rumah pemiliknya meski dengan cara yang tidak lazim yakni tertangkap kamera CCTV yang sengaja dipasang.

Tanpa disangka dan diduga sebelumnya pemilik rumah akhirnya keluar dan bertanya "tadi siapa ya yang lewat depan rumah saya?, karena kalian masuk cctv", akhirnya kamipun mengakui dan menyampaikan apa maksud kami datang hanya saja yang berkomunikasi waktu itu Ci Ratna selaku warga serumpun. Karena kami memiliki niat dan berbincang dengan baik akhirnya kamipun diajak masuk kerumah pribadinya, terus terang kami kaget karena pemiliknya sangat welcome terhadap kami meski kami dari berbeda budaya.

Hal yang cukup menakjubkan ketika kumandang adzan maghrib, beliau mengingatkan kepada kami yang akan menunaikan ibadah sholat maghrib. Dan alhasil saya dan Lengkong yang keluar untuk menunaikan sholat sedangkan lainnya menunggu di dalam sembari ngobrol kesana-kemari. Ketika kami selesai menuaikan sholat, dengan senang hati om Basuki membukakan pintu utama rumah layaknya tamu agung empunya rumah. Sebelumnya saya sempat mendapat kejahilan om Basuki, yakni pagar besi rumah digembok dan telefon genggam saya ada di dalam rumah. Alhasil bisa masuk sekitar 15 menit kemudian.

Akhir waktu ketika mendekati pukul 8 malam dan ketika kami memohon pamit, beliau meminta kami foto sejenak untuk kenang-kenangan di depan altar atau meja leluhur. Kamipun lantas mengiyakan kesempatan ini, dan tak lupa kami saling memberikan nomor handphone masing-masing untuk menjaga silaturahmi. 

Yang membuat saya kagum hingga saat ini adalah beliau sangat menunggu kedatangan kami lagi kesana, karena kami masih berkutat di wilayah masing-masing jadi ya kami minta maaf  belum sempat berkunjung kembali kepada beliau. Om Basuki kami memanggilnya, ketika kami berkunjung pertama kali kerumahnya tidak ada rasa curiga antara kami dan beliau. Menurut saya ya itulah namanya rasa tenggang rasa antara sesama individu maupun komunitas masyarakat.

Hari kedua kami memutuskan untuk bertemu teman lain di Semarang, tepanya di Teko Deko Coffe Shop yakni pak Albertus Kriswandhono. Untuk agenda ini yang menemui adalah saya dan Ci Ratna karena ada satu urusan , sedangkan teman lain kami lepas untuk menjelajah masing-masing. Ketika bertemu dengan pak Kris awalnya kami mengira cukup sulit untuk ditemui, ternyata sangat welcome juga beliau. Di ruang kerjanya kami menjelaskan apa kedatangan kami dan beliau langsung menangkap maksud kami, karena apa? Sudah sejak 2 minggu sebelum kami berkunjung sudah saling komunikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun