Sistem K-Rewards yang seharusnya memotivasi Kompasianer justru jadi sumber konflik yang nggak berujung.
Mekanisme yang berubah dan dianggap nggak transparan, bikin kepala Kompasianer ikut hangat: dulu pakai minimum views, sekarang pakai sistem headline-highlight.
Per Juli 2024, Kompasianer wajib punya minimal satu headline dan tiga highlight untuk bisa dapat K-Rewards. Masalahnya, pengumuman penerima K-Rewards bulan itu malah bikin kening berkerut, salah satunya jumlah yang diterima headliner turun drastis (setara satu porsi makan bergizi gratis, itupun tanpa lauk utama).
Dari semua pertengkaran ini, ada ironi yang nggak kalah lucu: artikel yang membahas sistem Kompasiana justru lebih sering dibaca ketimbang artikel substansif.
Mengkritik admin atau membahas K-Rewards lebih menarik perhatian dibanding menulis soal isu sosial, budaya, atau ekonomi.
Pelan-pelan terbentuk ekosistem aneh seperti Kompasianer menulis tentang Kompasiana untuk Kompasianer lain, menciptakan bubble diskusi yang semakin rapat—dan ya, termasuk saya yang lagi gabut menulis tema ini juga. Hahahaha.
Tuntutan transparansi kriteria Artikel Utama memang wajar. Tapi, sekomersial apapun platformnya, pasti punya algoritma dan kebijakan redaksional yang nggak sepenuhnya terbuka.
Entah demi alasan teknis, bisnis, atau strategi bertahan hidup.
Karena itu, akhirnya, sebagian Kompasianer berkesimpulan bahwa mungkin huruf “K” dalam kata Kompasiana memang singkatan dari kapitalis.
Drakom yang Nggak Akan Pernah Selesai