Saya menikmati pertengkaran ini, karena di dunia literasi, terutama di Kompasiana, kalau semua orang setuju itu tandanya bukan diskusi, tapi arisan. Dengan kata lain, ribut adalah bentuk cinta yang belum ketemu diksi.
Engkong Felix dan Seni Menertawakan Admin
Bila bicara kritik terhadap admin Kompasiana, nggak bisa dipisahkan dari Engkong Felix Tani. Kompasianer veteran ini sudah menulis kritik sistem selama lebih dari lima tahun (satu kali pilpres kalau nggak tiga periode dengan menabrak konstitusi) dari soal plagiat puisi Sapardi Djoko Damono yang lolos jadi “Pilihan” sampai saltik “insustri” yang malah naik jadi artikel utama.
Admin bahkan pernah dituding “lari terbirit-birit” oleh Kompasianer Feb, karena mencopot label “Pilihan” dari artikel kritik Felix, sekaligus menghapus bukti plagiat yang dilaporkannya.
Ini mirip kasus kriminal yang barang buktinya dihilangkan oleh polisinya sendiri.
Yang menarik, Engkong Felix belakangan memakai label “Humor” untuk artikelnya.
Strategi cerdas: kalau ada yang tersinggung, tinggal bilang, “ini kan bercyanda.” Mirip komedian yang mengkritik pemerintah tapi bersembunyi di balik “ini cuma joke.”
Meski begitu, doi juga menunjukkan “simpati” kepada para admin yang bekerja 24 jam menyeleksi ratusan artikel per hari, dengan gaji “hanya satu persen dari Wakil Komisaris Utama bank BUMN.”
Mereka harus membaca tulisan tentang tips berdiskusi dengan biawak, teori konspirasi global, sampai kritik presiden, sambil menahan komentar Kompasianer yang yakin dirinya lebih layak dari headline.
Kalau bukan pengabdian, kerja-kerja admin mungkin bisa dikatakan spiritualitas tingkat lanjut.
K-Rewards: Sistem Poin yang Bikin Pusing