Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Mahéng menulis di berbagai platform. Di Kompasiana, ia belajar menguleni isu-isu berat dengan adonan humor, kadang matang, sesekali gosong, adakalanya garing, dan nggak jarang absurd, persis seperti hidupnya sendiri. Intip X/IG @iamaheng.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ketika Esai Mengkritik Esai yang Mengkritik Esai: Drama Kompasiana yang Nggak Tamat-Tamat

10 Oktober 2025   12:03 Diperbarui: 10 Oktober 2025   13:19 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat oleh AI yang mungkin diam-diam juga Kompasianer. 

Kalau drama China (dracin) dianggap menghibur, drama Kompasiana (drakom) mungkin lebih menghadirkan gelak tawa. 

Nggak ada sutradara, nggak ada naskah, nggak ada sensor, dan nggak pernah benar-benar tamat. 

Di panggung ini, para Kompasianer yang menguasai Analisis Wacana Kritis (AWK) untuk membongkar struktur kekuasaan admin justru harus berhadapan dengan otoritas editorial yang dinilai random dan nggak ketebak, seperti koruptor yang mendadak religius. 

Kontradiksi inilah yang memantik perang Kompasianer: di satu sisi, ada dorongan menghasilkan karya tulis berkualitas tinggi, terbukti lewat kriteria verifikasi yang menuntut rasio Artikel Utama (AU). 

Di sisi lain, ada kritik bahwa admin platform gagal pada tugas paling dasar—mulai dari membiarkan judul Artikel Utama salah ketik (saltik “insustri” yang diprotes sosiolog Felix Tani) hingga mengubah mekanisme K-Rewards, yang bikin saldo headliner top macam Kompasianer Merza Gamal anjlok signifikan jadi setara uang parkir sportcar di minimarket. 

Drama Terbaru Dimulai dari Kolom Komentar

Drakom terbaru (setidaknya yang saya temui, nggak mau gabut juga nyari yang lain) dimulai saat Kompasianer Budi Susilo (peraih Best in Citizen Journalism dan People’s Choice Kompasiana Awards 2024) menulis analisis tentang rendahnya pembaca Artikel Utama Kompasiana.  

Di kolom komentar, Kompasianer Novia Respati menulis tanggapan yang di ujungnya berbunyi, “Gabut amat hidupnya.” Kalimat itu cukup untuk membuat napas Kompasiner Sunan Amiruddin D. Falah tercekat di tenggorokan. 

Ia mengaku bingung sekaligus heran, karena menurutnya 99,99 persen komentar itu identik ditujukan untuk menyerang artikelnya sendiri yang berjudul Karismakel dalam Artikelisme: Alasan Mengapa Tulisan Tak Menjadi Artikel Utama Kompasiana.

Sunan pun akhirnya angkat bicara. Ia membela riset berbasis data yang dianggap gabut itu, sambil membandingkan pendekatannya dengan karya sastra yang juga lahir dari riset mendalam. 

Saya pribadi nggak sepenuhnya menolak istilah gabut. Asal kata “gaji buta,” istilah itu malah terasa pas, karena menulis di Kompasiana memang nggak ada gajinya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun