Mohon tunggu...
HUSNA PRAVITA
HUSNA PRAVITA Mohon Tunggu... Konsultan - Konselor Kesehatan Mental, Mompreneur

Ibu dari tiga anak yang hobi travelling, hobi sharing tentang mental health

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Harus Pura-Pura Bahagia

3 Oktober 2022   21:55 Diperbarui: 3 Oktober 2022   21:58 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Berpura-pura kerap kali dimaknai dengan sesuatu yang tidak baik. Tapi terkadang dari persepsi yang lain, berpura-pura dianggap menimbulkan tindakan yang positif, seakan memang sangat diperlukan. Betulkah demikian? Yuk kita bahas.

"Am I okay?" Hehehe. Belum tentu yang kita lihat di luar adalah benar-benar cerminan apa yang di dalam. Terkadang manusia pura-pura merasa bahagia karna tidak ingin terlihat lemah karna yang orang lain tahu bahwa kita ini kuat.

Kapan terakhir kali kita merasa bahagia? Yaa benar-benar bahagia, bukan kita yang harus merasa bahagia...Cukup lama mungkin jawabannya.

Menurut pakar Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Margaretha Rehulina, kondisi berpura-pura bahagia ini populer dinamakan Duck Syndrome. Menampilkan diri seperti bebek (duck), di atas permukaan air terlihat tenang, padahal di bawah air kakinya sedang berenang dengan sangat cepat. Orang yang berpura-pura bahagia berusaha terlihat sangat tenang padahal di balik itu sedang melakukan perjuangan yang besar.

Istilah lain untuk orang yang berpura-pura bahagia ini sering disebut dengan "eccedentesiast". Eccedentesiast adalah sebutan bagi orang-orang yang suka menyembunyikan rasa sakit dibalik senyuman dan tertawanya. Jadi orang tersebut akan terus berusaha terlihat bahagia dan tak punya beban hidup padahal kenyataannya ia sedang menyimpan luka yang cukup dalam, sedang banyak masalah, sedang stres. Tujuannya agar orang lain di sekitarnya tidak merasa khawatir, tidak membebani orang lain dan melindungi privasi.

Perlu kita ketahui, bahwa orang yang berpura-pura bahagia itu justru bisa memperburuk perasaan. Kita tidak bisa menikmati hidup. Kita lebih mudah merasa stress yang berlebihan, putus asa bahkan depresi

Kita ingin agar orang lain melihat bahwa kita sedang bahagia. Kita ingin pura-pura baik, kita ingin pura-pura bahagia, kita tidak ingin orang lain tahu bahwa kita sedang tidak baik-baik atau ada beban berat yang kita simpan. Kita tutup rapat itu semua dan menampakkan wajah bahagia di hadapan orang lain.

Kita hanya perlu menampakkan wajah bahagia karena itulah yang lazim dilakukan oleh orang lain. Banyak ungkapan harusnya saya bahagia tapi kenyataannya saya tidak merasa bahagia. Itu yang banyak terjadi, bukan? Hanya karena seharusnya kamu merasakan bahagia, bukan berarti secara natural kamu pun merasakan bahagia. Bisa jadi malah kita merasa bersalah.

"Fake it 'Till You Make It" (Berpura-puralah dalam suatu hal sampai kamu menguasainya)

Pertanyaannya, sudah berapa lama kah kita berpura-pura bahagia? Apakah dengan berpura-pura kita menjadi benar-benar bahagia?

Jarang sekali pura-pura bahagia itu, membuat kita benar-benar bahagia. Yang tepat adalah berpura-pura bahagia membuat kita lelah, capek dan mengabaikan perasaaan sendiri. Kita jadi tidak tahu dengan perasaan sendiri karna sibuk memasang topeng bahagia.

Perasaan tersebut (emosi) perlu kita sadari, kita terima, kita rasakan dan kita maknai perannya masing-masing dalam kehidupan. Misal rasa sedih, kita tahu makna hadirnya rasa sedih agar orang lain hadir menemani, atau rasa kecewa yang datang menyadarkan kita bahwa tujuannya agar masa lalu yang menyakitkan hati kita tidak terulang kembali.

Ada beberapa langkah awal yang dapat diterapkan agar kita tidak perlu sering-sering untuk berpura-pura bahagia : 

  • Belajar mencintai diri sendiri dengan lebih intens agar kita lebih mengenali kapasitas diri.
  • Meluangkan waktu me time lebih banyak untuk mengungkapkan emosi dan tidak terlalu memforsir diri untuk hal-hal diluar kontrol kita.
  • Menjalani gaya hidup sehat, mindset positif serta mengurangi konsumsi media sosial atau lingkungan sosial yang berpotensi toxic.
  • Menyeimbangkan diri dengan lingkungan yang nyaman agar kita bisa menjadi apa adanya.
  • Yakinkan diri untuk selektif menempatkan diri kapan berpura-pura bahagia dan kapan harus cuti.
  • Banyak sharing dengan orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu kehidupan lebih tinggi dan lebih lengkap.

Orang yang selalu bahagia terus menerus itu "nonsense". Yang ada hanyalah orang yang paling pintar menyembunyikan kesedihannya. Tidak ada orang yang selalu bahagia, yang ada hanyalah orang-orang yang tidak mengijinkan  orang lain melihat kesedihannya. Kenapa kita harus menyembunyikan kesedihan? Bukankah kesedihan, kemarahan, kekecewaan adalah atribut kita sebagai manusia. Hal itu wajar dirasakan selama intensitasnya normal. Selama kita mampu memahami dan mengendalikannya. It's oke!

Kita perlu merasakan berbagai ragam emosi, tidak perlu tenggelam bersama emosi namun tidak juga menyangkalnya. Kita hanya perlu menerima dan menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan.

Kita butuh memaknai emosi, memaknai semua kejadian, semua yang hadir dalam hidup. Bukan berpura-pura bahagia. Dengarkan apa makna emosi yang ada dalam diri kita dan membuat diri kita bertahan. Selamat menemukan makna. Bahagialah secara natural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun