Bisnis itu tidak rasis. Karena dengan bersikap rasis, atau misalnya, melakukan hal yang sifatnya memojokkan pihak tertentu, secara tidak langsung Anda sudah memilah konsumen.Memilah dan memilih untuk membeli dan tidak membeli. Saya sangat 'terkesan' dengan ucapan Bukalapak yang menyatakan minimnya anggaran R&D dari pemerintah, dan diakhiri dengan kalimat harapan bahwa ' semoga presiden selanjutnya..' dan bla...bla..bla.
Sebetulnya wajar kalau seorang pengusaha mengeluhkan satu dan lain hal terkait kebijakan pemerintah. Terutama usaha yang menjembatani kepentingan kebanyakan masyarakat.
Dan E-commerce macam bukalapak, kebetulan sedang menjadi tren usaha yang bisa menjembatani hal tersebut.
Mulai kepentingan pedagang kelas UMKM yang menjajakan dagangan, masyarakat yang butuh produk murah secara gampang, atau pun penyedia layanan antar alias kurir.
Jujur saya akui, start up macam Bukalapak gini termasuk jenis E-commerce padat karya. E-Commerce yang sangat menjanjikan.
Kayaknya di jaman Now ini hampir 80% manusia yang sudah kenal peradaban digital butuh aplikasi belanja online, selain layanan transportasi online dan  banyak  hal yang serba mudah bisa didapatkan dengan hanya sentuhan jari-jari kita. Segampang itu.
Dan segampang itu pula lah CEO Bukalapak menggerakkan jarinya untuk berharap pada satu harapan yang lebih besar tapi belum tentu terwujud, yaitu pada kalimat "...presiden yang selanjutnya..' tanpa mau berfikir bahwa diluar sana ada berapa banyak penggunanya yang menjadi pendukung petahana loyal dan cenderung sensitif menyikapi setiap kalimat tertulis yang sifatnya berbau politis.
Kalau tidak ada kalimat " ..presiden selanjutnya.." Mungkin, bisa jadi, tidak akan menjadikan pernyataan itu sebagai sebuah blunder.
Akhirnya apa yang terjadi?
Sekarang terjadi 'perang' yang bukan perang antara dua kubu pasangan presiden dan wakil presiden.
Sekarang muncul perang baru, antara pendukung bukalapak dan bukan pendukung Bukalapak. Anda bisa simpulkan, asal kubu mendukung dari mana, asal bukan pendukung dari mana kan?
Ada satu twit dari salah satu pendukung Bukalapak, bahwa Bukalapak bisa mencuatkan tren hashtag baru, yaitu #uninstallJokowi.
Pertanyaannya sederhana, kalau bisa memunculkan tren itu, Â apa yang didapat bukalapak? Pengguna baru?
Mungkin.
Tapi ada berapa banyak pengguna yang sakit hati lalu ramai-ramai uninstall aplikasi Bukalapak?
Lalu berapa banyak pengurangan lalu-lintas transaksi yang terjadi di aplikasi bukalapak akibat entengnya jemari mencuatkan satu kalimat blunder?
Setahu saya, volume (kuantitas) transaksi pada satu start up, nilainya lebih besar daripada kualitas transaksi secara nominal rupiah untuk menarik investor.
Misalnya, transaksi 10x dengan nilai Rp 1.000.000 jauh lebih penting daripada sekali transaksi dengan nominal Rp 2.000.000.
Nah, volume transaksi inilah yang dikejar pengelola start up untuk menarik investor.
Makanya jangan heran kalau misalnya Anda memesan layanan transportasi online, lalu melakukan pemesanan jarak pendek akan lebih cepat direspon daripada melakukan pemesanan dengan jarak yang lebih jauh oleh driver
Kenapa?
Semakin sering driver menerima order, maka semakin besar pula bonus yang di dapat. Itu sudah sesuai dengan term and condition antara pengembang aplikasi dan mitra driver. Karena itulah cara pengembang aplikasi untuk menarik minat investor.
Karena dalam berinvestasi, investor menilai banyaknya login ke start up tersebut. Bukan jumlah nominal transaksi yang dihitung dari besarnya rupiah.
Artinya, dengan penurunan pengguna, maka terjadi pula penurunan peluang untuk mendapatkan investor baru buat Start up tersebut.
Di luar Bukalapak, ada banyak Start up yang lagi gencar melakukan promo. Mulai promo diskon belanja, promo undian berhadiah, serta berbagai tawaran menggiurkan bagi penggunanya tanpa melakukan satu tindakan yang sifatnya memilah pelanggan dengan memojokkan pihak tertentu.
Bagi mereka, bisnis adalah bisnis, tak peduli siapapun pemimpin negeri ini.
Bisnis adalah satu kegiatan dagang untuk memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dan dengan berbagai cara memperoleh pelanggan baru sebanyak mungkin tanpa memilah dari mana pelanggan itu, tak peduli apa suku-nya, agamanya, adat istiadatnya, bahkan sikap politiknya.
Yang penting memberi keuntungan, cukuplah itu.
Mungkin bukalapak tidak bermaksud seperti itu. Tidak bermaksud 'mengurangi' jumlah pelanggan. Tapi apa yang dilakukan seolah Bukalapak memproklamirkan dukungan pada satu pasangan calon tertentu. Saya tidak tahu persis, apa yang dilakukan CEO Bukalapak sengaja atau tidak. Dengan tendensi politis atau tidak. Yang jelas pendukung pasangan Calon presiden dan Wakil presiden nomor 01 terlanjur menyimpulkan demikian, dan mendorong gerakan hashtag #uninstallBukalapak.
Bukan hanya itu, mereka juga mengecam habis sikap CEO Bukalapak.
Pasalnya belum lama Presiden Jokowi bahkan melakukan endorse pada hari ulangtahun Bukalapak beberapa hari lalu yang disiarkan sebuah stasiun televisi swasta.
Eh...tak lama kemudian CEO malah mengeluhkan minimnya anggaran R&D dibidang E-Commerce serta membandingkan dengan negara lain dan disisipi kalimat , " Semoga presiden baru.."
Sontak Netizen berang. Menganggap CEO Bukalapak tak tahu diri, tak tahu balas budi, sampai meme Lupabapak.
Ketika muncul hashtag #UninstallBukalapak, buru-buru Ahmad Zaky mengklarifikasi.
Karena tidak semua Netizen pintar memahami kalimat yang disampaikan.
Mungkin kesalahan fatal Zaky adalah, dia memakai data tahun 2016 sebagai pembanding dan ' presiden selanjutnya' yang dianggap mewakili seruan ganti presiden seperti yang digaungkan kubu pasangan calon nomor 2. Inilah yang dianggap celah oleh netizen untuk menyerang dengan jurus baru yang mereka nama kan, "Hoax".
Lalu pada menghubungkan dengan soal politik.
Ya memang kayak ginilah tahun politik. Semua dihubungkan dengan politik. Apapun yang mengandung kalimat politis atau nyerempet dikit pasti disimpulkan bahwa itu bentuk dukungan atau serangan terhadap pasangan tertentu.
Ini yang tidak boleh dilakukan oleh pebisnis. Karena itulah yang menyebabkan konsumen yang berseberangan pandangan politik anti pati.
Bukalapak bukan perusahaan pertama yang di boikot karena masalah politik praktis. Sebelumnya ada Sari Roti juga di Boikot.
Bedanya, manajemen Sari Roti saat itu tak tahu menahu tentang aksi yang dibilang mendukung gerakan (Demo) 212. Saat itu kebetulan ada seseorang yang memborong Sari Roti dan mendonasikan untuk peserta Demo serta memberi tulisan, " Gratis untuk para Mujahid"
Hanya gitu tulisannya!
Tapi karena Roti itu masih disajikan di gerobak Sari Roti, maka ada yang menyimpulkan bahwa Sari Roti mendukung gerakan 212.
Tak menunggu lama, maka masyarakat yang berseberangan pandangan politik dengan aksi 212 memboikot Produk Sari Roti. Lalu buru-buru pihak manajemen mengklarifikasi bahwa pihak Sari Roti tidak ikut terlibat aksi itu.
Kembali ke kasus Bukalapak.
Walaupun sudah ada seruan untuk tetap mendukung Bukalapak dari Presiden Jokowi, walaupun Ahmad Zaky sudah meminta maaf secara langsung ke presiden dan masyakarat, tapi tetap saja polemik berkelanjutan. Memunculkan 'perang' baru antara dua pendukung paslon dan memunculkan dua trend hashtag baru. Antara lain, #uninstallbukalapak #installBukalapak dan #uninstallJokowi.
Tentu saja apa yang dilakukan Ahmad Zaky walau diakui secara tak sengaja memicu ketegangan baru antar dua pendukung paslon.
Ke depannya, para pelaku bisnis tidak seharusnya menyatakan dukungan dengan cara terbuka dan mencampuradukan bisnis dan politik. Apalagi bisnis yang bergerak di sektor ritel yang mengakomodasi keperluan banyak pihak.
Kalau pun pemilik bisnis mendukung salah satu politisi untuk maju dalam satu kontes pemilihan, hendaknya dilakukan backstage.
Jangan sampai bentuk dukungan itu menimbulkan rasa antipati buat para pelanggan.
Ingat, ini bukan perangmu. Perangmu adalah berkutat mencari tahu bagaimana caranya memuaskan pelanggan dan menjaga hubungan kesinambungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI