Mohon tunggu...
Deddy Huang
Deddy Huang Mohon Tunggu... Freelancer - Digital Marketing Enthusiast | Blogger | Food and Product Photographer

Memiliki minat di bidang digital marketing, traveling, dan kuliner. Selain itu dia juga menekuni bidang fotografi sebagai fotografer produk dan makanan. Saya juga menulis di https://www.deddyhuang.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma

"I Love You Forever"

30 Mei 2018   21:56 Diperbarui: 30 Mei 2018   22:29 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Father and Son (sumber : pixabay.com)

Di atas meja telah tersedia makanan enak dan menggiurkan liur. Hidangan sederhana yang terasa amat istimewa ketika dimakan bersama orang yang disayang. Meja makan tidak terlalu besar namun cukup untuk menampung keluarga kami. Ada 4 buah kursi yang diletakkan. Aku, ayah, ibu dan kakak. Ibu sedang menyiapkan buka puasa. Bukan menu berbuka mewah, hanya ada seperti nasi uduk dan semur ayam. Keempukan daging ayam membuat nafsuku sulit berhenti.

Banyak cerita yang mengalir lewat meja makan. Ayah seorang pendengar yang baik. Biasanya aku dan kakak bercerita seputar kegiatan di sekolah. Cerita orang yang menyebalkan atau guru yang membuat kami takut karena dikenal galak. Ibu hanya tertawa mendengar kekesalanku karena masih dianggapnya aku bocah. Huh, ibu. 

Ada Cerita Manis di Meja Makan

Kakak senang sekali mengacak rambutku, katanya rambutku mirip Dora The Explorer "Ah kakak.." tangkisku.

"Sudah-sudah jangan bertengkar," ibu langsung melerai aku yang biasanya langsung merajuk.

"Kamu suka telok ukan, kak?"

Tanganku segera meraih telur putih bertutup gabus. Siang tadi itu aku malas untuk membantu ibu masak di dapur, tubuhku masih terasa lemah sehabis mengisi darah segar. Tapi tidak tega juga melihat ibu sendirian tanpa ada yang bantu. Aku disuruh ibu untuk melihat cara dia membolongi telur bebek dari cangkak lalu dikeluarkan isinya. Nantinya telok ukan ini memadukan santan dan 4 bumbu lainnya yaitu serai, gula merah, asam jawa dan garam supayah gurih. 

Bahan isian teluk ukan nantinya dimasukkan kembali ke dalam cangkak telur kemudian ditutup kembali menggunakan kayu gabus. Setelah diisi, telok ukan dikocok dulu supaya menyatuh kemudian direbus selama kurang lebih lima jam. Aromanya kurang begitu aku suka, apalagi rasanya. Weekkk... aku tidak sanggup untuk menelannya.

Telok Ukan (sumber : Ivone S.)
Telok Ukan (sumber : Ivone S.)
"Suka! Cobalah jadi kau tahu," seru ayah.

"Gaaakk!"

"Bagaimana kamu tahu kalau kau sendiri belum pernah coba?"

Ibu berkata kalau telok ukan ini bentuk dan rasanya unik. Tidak banyak penjual telok ukan di Palembang, bisa jadi makanan ini sudah hampir punah. Hanya bisa ketemu saat 17 Agustus saja.

Mataku melirik ke kakak melihat kedua tangannya sedang mengocek telok ukan dan mengeluarkan isinya. Tiba-tiba satu suapan masuk dalam mulutku sewaktu aku masih menolak untuk memakan telok ukan. Aku langsung membungkam mulut dengan kedua tangan. Ingin rasanya mengeluarkan kembali suapan itu keluar, namun cepat langsung ditahan oleh kakak.

"Enak?" Aku mengangguk perlahan. Hingga tanpa sadar suapan terakhir masuk dalam mulutku adalah telok ukan terakhir.

Kemana Rindu Membawa?

Keluargaku bukan keluarga yang besar. Ramadan dijalani normal seperti biasa. Hanya saja ayah sering berpesan kalau Ramadan bukan saja harus menahan haus dan lapar. Ada pengalaman spiritual yang harus selalu dikejar. Aku melihat ayah dan kakak sedang mengambil wudhu. Malam itu kami sholat berjamaah di ruang tamu. Ayah menjadi iman bagi kami.

Duduk sebelahan dengan ayah membuat tubuhku hangat. Mungkin itulah sifat anak bungsu yang sulit lepas dari kata manja. Malam itu ayah membenarkan posisi duduknya di sofa. Aku sedang membaca buku sedangkan kakak menonton televisi. Terlihat ada yang ingin ayah sampaikan kepada kami sambil dia mengelus dada kirinya. Namun, aku diam tak mengubris. Ibu masih tampak asyik di dapur untuk menyiapkan sahur kami.

Ayah sangat hebat dengan kesibukannya tetap mampu menggaransi bahwa anaknya akan selalu rindu terhadapnya. Dalam satu bulan bisa saja ayah berangkat.

"Ayah kenapa?" tanyaku.

"Eng.. oh tidak apa-apa," seru ayah langsung masuk ke dalam kamar. Sekejap aku melihat bayangan ayah menghilang membelakangi diriku dengan punggung. Pundaknya lebar membuatku betah untuk bersandar.

Ayah dengarkanlah...

Aku ingin berjumpa...

Walau hanya dalam

Mimpi...

Senyum lembut namun tegas di balik wajahnya ayah adalah senyum terakhir yang aku lihat. Ibu berbalut kerudung hitam mencoba untuk tegar. Sebelahku berdiri kakak yang terus menggenggam tanganku. Aku masih sulit untuk melupakan kejadian malam Ramadan tahun lalu, ketika perampok itu masuk dan pelukan ayah melindungiku dari serangan pisau menghujam di dadanya.

"Aarrrghh.." tubuhku berontak tidak jelas. Sayup suara masih bisa aku dengar ketika kakak berteriak panik meminta pertolongan. Tubuhku mulai melemah dan tak sanggup untuk membuka kelopak mata. Ada sosok orang berkain putih langsung memeluk tubuhku.

"Ayah? benar itu ayah? aku rindu, ada banyak yang ingin aku ceritakan dengan ayah." Sosok putih itu diam saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun