Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sate Kambing

31 Desember 2018   06:35 Diperbarui: 31 Desember 2018   06:49 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap malam sejak hari itu, telah kukatakan berulang kali pada diriku sendiri bahwa aku memahami keputusanmu. Di sana, di kamar berukuran 4x4 yang kutinggali selama bertahun-tahun---yang lampunya selalu kumatikan setiap pukul sepuluh. Sekarang pun sama. Aku pun membisikkan kalimat yang sama---berulang-ulang---dari suatu tempat yang kau-tahu-aku-ada-di-sana.

Aku memahami keputusanmu.

Namun, melihat binar matamu saat menikahi laki-laki itu, aku tetap tidak terima. Kutundukkan pandanganku hingga yang kulihat adalah kedua tanganku yang saling berpaut. Sambil menjentik-jentikkan kuku jempol kanan ke jempol yang kiri, aku berusaha mengerti.

Apa artinya aku bagimu Ibu?

Saat itu dari meja prasmanan menguar aroma sate kambing. Aku menutup mataku rapat-rapat dan memaksa pikiranku membayangkan pantai, gunung dan hutan secara bergantian---berusaha mengabaikan aroma sate kambing yang membuat cacing-cacing perutku bernyanyi.
***
Ini bukan kali pertama aku naik kereta.
Kupalingkan wajahku ke luar jendela. Tadinya aku hanya ingin tidur sambil mendengarkan apa-saja yang otomatis diputar aplikasi musik di ponsel. Sialnya, seseorang yang duduk di sebelahku terus saja menawariku camilan yang sedang dikudapnya. Aku diajari untuk tidak menerima hal-hal semacam ini sehingga kutolak berkali-kali tawarannya. Namun, karena terus-menerus kutolak ia malah semakin memaksa hingga kuambil sejumput camilan itu.

Tidak berhenti di situ saja, ia mulai bercerita, pertama-tama tentang dirinya lalu ia menanyaiku---berapa usiaku, hendak ke mana, mengapa sendirian saja---yang kujawab sekenanya. Lalu ia bicara tentang apa-apa saja yang ada di kereta---soal seruan untuk menutup tirai jendela, soal koper berwarna norak yang berada tepat di atas kepala, seorang ayah yang lalu lalang bersama balita yang tidak dapat duduk diam hingga soal rumah-rumah penduduk, pertokoan, pepohonan, tower, jalan, langit dan segala yang tampak di luar jendela.

Semua yang bagiku biasa-biasa saja itu---menurutnya---menarik untuk diobrolkan. Ia sama sekali tidak mempedulikan earphone yang terpasang di telingaku sejak tadi---sebuah kode keras bahwa aku sedang tidak ingin diganggu.

Setelah beberapa saat mengobrol dengannya, kereta menepi di sebuah stasiun. Beberapa penumpang terlihat menurunkan barang bawaannya---koper dan juga dus-dus. Sementara itu di luar, penumpang yang menunggu kedatangan kereta bergegas mengangkut barang bawaannya ke atas gerbong. Pada saat itu, di dalam kereta yang kami tumpangi terjadi proses pertukaran penumpang, ada yang turun dan naik.

"Hidup itu begitu," ucapmu suatu kali.
Saat itu aku menyimakmu sambil menyuap nasi goreng yang kumasak beberapa saat sebelum kau tiba di rumah dan sate kambing yang kau belikan untukku.

"Di rumah sakit ada yang meninggal dan ada yang baru lahir ke dunia. Dengan begitu dunia ini akan terus ada dan berfungsi seperti bagaimana ia semestinya," kau melanjutkan.

Di atas kereta itu, dengan masih mengobrol dengan lelaki yang berada di sebelahku, aku tiba-tiba merasa bahwa saat kau mengatakan itu, kau sedang memberi sinyal bahwa ketika ayah pergi, akan ada orang lain yang menggantikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun