Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Interval

8 Maret 2016   10:30 Diperbarui: 10 Maret 2016   18:05 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Beberapa hari lagi aku akan menghadapi ujian semester.”

Segera setelah mendengar jawabanku kau mengambil dompet dari dalam kamar dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan menaruhnya di hadapanku.

“Pergilah dan belilah apa saja yang menjadi keperluanmu.”

Aku hanya menganggukkan kepalaku sebagai tanda bahwa aku mengiyakan perintahnya itu.

Kulihat adik merengek minta uang karena melihatku diberi begitu banyak. Kau hanya mengusap kepalanya dan tersenyum.

***


Di sebuah super market, aku sedang mencari obat-obatan dan beberapa kudapan untuk perjalanan esok hari. Langkahku terhenti di depan sebuah lorong. Ini yang seharusnya kulakukan bersama ibu. Biasanya dulu, jauh sebelum aku mengenalmu, aku akan mendorong kereta belanja dan mengikutinya dari belakang sambil mengamati apa yang sedang ibu ingin beli. Ah, segera kuhirup nafas dalam-dalam dan menghitung satu hingga sepuluh dalam hati. Pernah kulihat di TV orang yang melakukannya untuk mengubah suasana hati dan itu yang kulakukan saat ini.

Tak ada seorang pun yang akan merasa aneh jika melihat anak kecil yang merengek, mengaduh, menangis dan berkata tak mampu. Sementara setelah dewasa, seolah segalanya menjadi tabu. Oleh karena itu aku menahannya. Dari banyak orang, dengan bermacam situasi dan kondisi, aku belajar bahwa kita semua menua untuk belajar bagaimana diam, meredam rasa sakit, menahan air mata dan selalu berkata mampu. Aku tidak tahu apakah yang kupercaya adalah benar bagimu, bagi orang lain. tetapi setidaknya itulah yang kuanggap benar. Kebenaran yang relatif.

Ini hari terakhirku di kota ini, Lubuklinggau. Kota tempat aku dilahirkan. Aku tak punya rencana untuk menghabiskannya denganmu, kalian. Hanya ingin menghabiskannya sendiri. Meskipun aku pernah membaca sebuah artikel majalah online yang menuliskan tentang betapa tidak seharusnya orang dewasa tak punya teman bicara sebagai tempat berkeluh kesah dan sebagainya. Entahlah, bagiku yang tidak seharusnya terjadi sekarang adalah bertemu dengan orang-orang yang kau sudah pastikan akan memicu lara. Adalah teman yang masih merasa iba padaku, menggenggam tanganku, menepuk pundakku atau memelukku lagi untuk kesekian kalinya. Rasa iba itu yang membuatku berpikir bahwa aku begitu menyedihkan, yang pada akhirnya malah membantuku menegaskan kesedihan itu sendiri alih-alih mengurangi kadarnya. Meskipun kau sudah sangat baik untuk tidak bertanya tentang apa yang kurasakan saat ini. Aku juga tidak bisa bertahan lama di rumah itu melihatmu jika tanpa ibu di sisimu.

Aku tidak tertarik menghabiskan waktu dengan menyalakan televisi di ruang tengah itu yang sekarang tak tampak nyawanya padahal dahulu selalu turut meramaikan suasana karena ibu yang selalu tak pernah absen menonton drama yang sepertinya tak kunjung selesai. Menurutku ceritanya sengaja dipaksa mulur hingga beratus episode untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Sebab inilah aji mumpung. Mumpung dramanya lagi laris di tonton. Sesampainya di rumah, sebenarnya hasratku hanya ingin segera menghempaskan diri di kasur, tetapi tercekat oleh ibu yang menarik lenganku untuk duduk bersama. Setelah seharian bekerja, hanya saat inilah kami bisa bersama sebagai anak dan ibu yang melakukan reuni setelah seharian tidak berjumpa. Sementara kau yang tadi hanya diam di sudut ruangan sambil membaca koran dan asyik menikmati kudapan yang ibu siapkan untukmu mulai mendekat. Tepat disaat itu jam berkukuk sembilan kali. Akhirnya aku punya alasan untuk menghindar lagi malam itu. Beruntung sekali aku memiliki banyak tugas rumah yang harus kukerjakan setelah seharian menghabiskan waktu di sekolah dengan jadwal tambahan persiapan menghadapi ujian nasional. Bahkan juga di akhir pekan. Itu beberapa pekan sebelum akhirnya aku pergi mendaftarkan kuliah di kota Kembang, Bandung.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun