Mohon tunggu...
Hery Syofyan
Hery Syofyan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Banyak baca dapat menambah cakrawala pola pikir kita....suka bola & balap..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pyramid Cartensz, Sebuah Warisan yang Unik dari Papua

30 Desember 2016   22:28 Diperbarui: 30 Desember 2016   22:54 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diakui bahwa mimpi untuk dapat mendaki Pyramid Carstensz tersebut bukanlah sebuah mimpi yang mudah untuk diwujudkan. Selain karena memang medannya yang memang berat seperti alam yang terjal, suhu yang sangat dingin, angin kencang dan hujan, serta minimnya oksigen di daerah ketinggian.

Disamping itu yang juga tak kalah memberatkan adalah, mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan wisatawan/pendaki untuk dapat menjelajahi pegunungan tersebut serta ditambah lagi dengan sulitnya mengurus izin, membuat Piramid Carstensz saat kini berada di peringkat ketiga termahal di dunia.

Sari Waran
Sari Waran
Biaya pendakian ke puncak Cartensz ini berada di bawah Gunung Everest di Nepal dan Gunung Vinson Massif di Kutub Selatan. Menurut data travel biaya pendakian ke Pyramid Carstensz ini dibanderol dengan harga berkisar Rp 55 juta per orang, itupun minimal rombongan lima orang. Dengan waktu perjalanan yang dibutuhkan mencapai sekitar dua minggu. Sementara itu Operator pendakian luar negeri, dikatakan menjual paket ke Carstensz ini mencapai USD 10.000 (setara Rp 150 juta-red). Bahkan sebuah operator pendakian terkenal dari Selandia Baru, malah menjual paket pendakian ke Puncak Carstensz ini seharga USD 27.000 atau sekitar Rp 383 juta. di sini

Adapun penyebb mahalnya biaya pendakian ke puncak Cartensz itu tak lain disebabkan oleh, karena memang letak gunungnya yang sulit dijangkau. Dari Jakarta, pendaki harus menggunakan pesawat menuju Nabire, Papua selama enam jam. Setelah itu dari Nabire harus menyambung lagi dengan pesawat kecil ke Desa Sugapa di Kabupaten Intan Jaya. Diluar itu masih ada biaya porter dan pemandu selama dua minggu pendakian, serta biaya peralatan pendakian kelompok, makanan, dan minuman. Disamping itu faktor keamanan juga membuat biaya pendakian ke pyramid carstensz ini jadi mahal itupun masih ditambah dengan banyaknya biaya yang tak terduga, sehingga membuat biaya bisa naik 100 persen,

Biaya porter yang mahal tersebut sesunggguhnya terjadi karena belum adanya sistem pemberian gaji untuk para porter. Harga porter untuk sekali perjalanan pendakian Puncak Carstensz ini berkisar Rp 7-8 juta. Sementara, untuk satu orang pendaki membutuhkan dua porter. Ok, mungkin melihat bersarnya angka itu, tentu buat pendaki sudah menganggap upah atau bayaran itu mahal. Namun ternyata uang segitu, hanya cukup untuk membiayai hidup mereka (porter) sehari-hari karena memang harga barang-barang di desanya mahal-mahal.


Untuk itu seperti yang dikatakan Maximus Tipagau, salah seorang pemuda asal Papua yang menjalankan Adventure Carstensz tour travel, mengatakan bahwa mereka membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk dapat membantu masyarakat Papua dalam mengelola Puncak Carstensz ini. Mungkin dengan jalan memberikan pelatihan pemahaman ke pariwisataan, pemerintah juga dimintanya untuk membangun infrastruktur khususnya yang terkait dengan jalur pendakian ke Puncak Carstensz.

Menurut Maximus Tipagau, sudah saatnya pemerintah dalam hal ini Kemenpar duduk bareng bersama masyarakat papua guna membahas soal pengelolaan Puncak Carstensz ini. menurutnya orang-orang papua harus bisa menjaga dan melestarikan keindahan alam di sana demi pariwisata. Karena dengan pariwisata jugalah, mereka bisa hidup sejahtera. Jadi intinya Menurut Maximus, suku-suku Papua yang tinggal di sekitar Puncak Carstensz jangan hanya menjadi penonton saja. Mereka harus turun langsung untuk mengelola destinasi-destinasi di sana.

Apa lagi seperti yang diberitakan, akibat pemanasan global, salju abadi di Puncak Cartensz diperkirakan bisa menyusut dan bahkan mungkin saja bisa mengering. Hal itu diketahui dari hasil penelitian oleh ahli Iklim dan Laut Indonesia Dwi Susanto,dari University of Maryland, Washington DC, Amerika Serikat. yang menyimpulkan bahwa endapan es di pegunungan ini dari tahun ke tahun mengalami penyusutan yang serius. Sehingga, bukan tidak mungkin kelak pegunungan ini akan kehilangan salju seperti yang terjadi pada Gunung Kilimanjaro di Tanzania.

Fenomena melelehnya salju abadi di Puncak Pegunungan Jaya Wijaya ini dikatakan sejatinya sudah terpantau sejak lama. Saat ia melakukan penelitian mewakili Lamont-Doherty Earth Observatory Columbia University, Amerika Serikat. Hasil penelitiannya saat itu menyimpulkan bahwa kandungan tertua es di Puncak Jaya hanya mendapati inti es tahun 1920. Prediksi yang semula bisa mendapati kandungan es beribu-ribu tahun tak didapatkan.

National Geographic Indonesia
National Geographic Indonesia
Hasil itu juga diperkuat dengan temuan foto dari Satelit NASA yang memperlihatkan menghilangnya Es di Puncak Jaya tahun 1989, sebelumnya terlihat ada lima gletser di Puncak Jaya. Namun, 20 tahun kemudian, dua dari lima gletser itu hilang. foto satelit NASA membandingkan kondisi gletser di tahun 1989 dan 2009. Tahun 1989, ada lima gletser di Puncak Jaya. Namun, 20 tahun kemudian, tepatnya pada 2009, dua dari lima gletser itu hilang sama sekali. Sedangkan sisa tiga gletser lainnya berkurang secara drastis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun