Mohon tunggu...
HPS ISMKI Wilayah 2
HPS ISMKI Wilayah 2 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Health Policy Studies

Bidang Health Policy Studies merupakan bidang yang bertanggung jawab atas fungsi pengkajian, penyikapan, dan pengawalan isu sosial politik yang sedang berkembang di Indonesia, terutama dalam kebijakan kesehatan. Dalam hal ini HPS ISMKI wilayah 2 menjadi wadah bagi 21 kastrat institusi FK di ISMKI wilayah 2.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sudahkah Kita Merdeka dari Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus?

1 Mei 2022   21:26 Diperbarui: 1 Mei 2022   21:44 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kondisi Kekerasan Seksual di Lingkup Perguruan Tinggi Saat Ini

Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 sudah resmi menjadi payung hukum PPKS di tingkat perguruan tinggi semenjak 3 September 2021(BPK RI, 2022). Semenjak disahkannya Permendikbudristek ini, terdapat beberapa pro dan kontra. 

Di antaranya pasal yang menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa, masyarakat, bahkan tokoh-tokoh. Terdapat banyak pihak yang mengkritik tetapi banyak pula yang setuju mengenai adanya Permendikbudristek ini (Aprilia, 2022). 

Meskipun Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 diklaim atasi kasus pelecehan seksual di kampus, namun faktanya setelah disahkannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini masih terdapat kasus- kasus kekerasan seksual di kampus dari awal 2022 (Faizin, 2022). 

Keadaan ini membuktikan belum tercapainya kampus merdeka kekerasan seksual. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Pak Menteri, Nadiem Makarim, bahwa lingkungan perguruan tinggi ini harus menjadi lingkungan bebas kekerasan dan menjadi lingkungan kondusif bagi mahasiswa untuk mengembangkan potensinya (JawaPos, 2022; Kemdikbud, 2021). Namun apakah hal tersebut sudah sesuai dengan kenyataan sejak disahkannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021?

Kekerasan seksual sendiri didefinisikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal (Kemdikbud, 2021). 

Semenjak dikeluarkan nya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 di bulan Agustus, telah terjadi penambahan jumlah laporan kekerasan seksual. Terhitung bulan September 2021, telah diterima sebanyak 51 kasus dan 27% nya berasal dari di Perguruan Tinggi. Selanjutnya sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27% aduan kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2022). 

Data ini diperkuat dengan temuan survei Mendikbud Ristek pada tahun 2019 bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%) (Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2022). Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan pada periode tahun 2015-2021 ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. 

Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen. Perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan 35 kasus pada tahun 2015 hingga 2021 (Anugrah Andriansyah, 2022). Menurut Komisioner Komnas Perempuan, hal tersebut merupakan hal positif karena sebelumnya masih banyak korban kekerasan seksual yang belum melaporkan ke pihak kampus. 

Dilihat dari respon korban yang menjadi lebih berani melakukan pelaporan, Komnas Perempuan menyatakan bahwa hal ini seharusnya menyadarkan semua bahwa adanya Permendikbud kita bisa melihat kekerasan seksual itu sesuatu yang nyata terjadi (WHO, 2021; Sucahyo, 2022; Jayani, 2022).

Kampus Merdeka Katanya, Namun Apakah Sudah Merdeka Dari Kekerasan Seksual?

Kembali ke kampus merdeka, apa yang sebenarnya dimaksud dengan Kampus Merdeka? Menurut Mendikbud Ristek terdapat beberapa arti dari kampus merdeka yaitu (Kemdikbud, 2021):

  1. Otonomi bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan swasta (PTS)
  2. Program reakreditasi otomatis
  3. Kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja
  4. Hak belajar selama 3 semester di luar program studi

Permasalahan tersebut dapat kita lihat pula kenyataannya dari kejadian beberapa waktu yang lalu mengenai kekerasan seksual mahasiswi di lingkungan kampus. Sebut saja kasus A, mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kasus L, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Riau (UNRI). 

Mereka berdua merupakan korban dari bejatnya dosen sendiri. Kedua kasus ini menjadi pemicu kemunculan kasus kekerasan seksual lain di lingkungan kampus di Indonesia. Kasus-kasus ini membuka mata kita bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja di lingkungan kampus. Tetapi ironisnya, justru pihak kampus dan penegak hukum seolah-olah "menutup mata" terhadap kasus ini, dan seakan-akan tidak berpihak kepada korban.

Pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dosen FISIP Universitas Riau (UNRI) Syafri Harto, Korban dan Korps Mahasiswa Hubungan Internasional UNRI mengunggah video pengakuan korban dikarenakan telah diadakannya audiensi pada 4 November 2021 namun Rektor bersikap tidak peduli terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi. 

Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonis bebas Dosen FISIP Universitas Riau (UNRI) Syafri Harto dengan dalih tak terbukti secara sah melakukan perbuatan cabul terhadap mahasiswinya, LM. Ironisnya, Dia melaporkan balik mahasiswi tersebut ke Polda Riau mengenai pencemaran nama baik dan UU ITE. 

Bahkan ia mengancam akan menuntut korban Rp 10 miliar (Zuhra, 2022; CNN Indonesia, 2022). Pada kasus kekerasan seksual lainnya yang melibatkan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), pihak universitas memutuskan untuk menyelesaikan masalah secara non-litigasi walaupun pihak korban merasa terdapat kejanggalan didalam penyelesaian kasus tersebut (Franciska, 2022).

Bisa disimpulkan bahwa seringkali korban merasa enggan untuk melapor adalah karena rasa takut akan ancaman/tindakan diskriminasi, ditambah mereka akan diberi label tidak baik, diasingkan, disalahkan oleh masyarakat. Menurut beberapa survei dari lembaga-lembaga tertentu, kasus kekerasan seksual yang terjadi di beberapa daerah ini memiliki motif yang relatif sama diawali karena viral di sosial media hingga mendapat perhatian publik.

Pendapat Ahli Mengenai Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Polemik yang muncul dari terbitnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 mengundang perhatian dari berbagai pemangku kepentingan di dunia pendidikan. 

Akademisi sekaligus pakar hukum dari Universitas Airlangga, Dr. M. Hadi Subhan, S.H., M.H, CN, menganalisa dari sudut pandangnya tentang polemik di dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa suatu lembaga bisa membuat peraturan atas dasar dua hal, yaitu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau karena menjalankan urusan yang menjadi kewenangannya. Sebelum disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), beliau berpendapat bahwa Kemendikbudristek merupakan penanggung jawab pendidikan tinggi yang berwenang dalam membuat peraturan PPKS secara formal. 

Dengan adanya pengesahan RUU tersebut menjadi UU, keberadaan dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini bisa semakin diakui dan pengimplementasiannya tidak akan sulit lagi karena sudah ada kaitan hukum yang kuat, jelas, dan lebih tinggi yang mengaturnya.

Selain mengundang perhatian di dunia pendidikan, Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Diah Pitaloka, juga menambahkan bahwa Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tidak berdiri sendiri karena masih ada norma sosial, agama, dan undang-undang lain seperti undang-undang perkawinan dan KUHP. 

Disahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan seksual membuat kedudukan dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 menjadi semakin kuat karena sudah ada kaitan hukum yang jelas. Sebelumnya, dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 hanya memberi tiga kategori sanksi administratif berupa sanksi ringan, sedang, dan berat. 

Sanksi berat yang diberikan berupa pencabutan atas status sebagai mahasiswa, pendidik, dan tenaga pendidik. Dengan lahirnya UU TPKS, sanksi tambahan yang dijatuhkan dapat berupa pidana, denda, serta pidana tambahan pembayaran restitusi yang berujung pencabutan izin usaha jika pelaku adalah korporasi.

Akan tetapi satu sisi yang lain, berbagai polemik mengenai kesalahan dalam penafsiran kata 'tanpa persetujuan korban' yang dianggap oleh beberapa pihak sebagai bentuk persetujuan di dalam kacamata hukum itu memiliki makna 'tanpa hak' terus bermunculan. 

Menurut Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Lincolin Arsyad, Permendikbud ini berpotensi untuk menimbulkan kesalahpahaman terkait adanya tujuan untuk melegalkan zina. 

Dikutip dari Kompas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Taufan, menganggap bahwa consent dari kedua pihak menjadi faktor yang penting dalam pembuktian suatu kasus pelecehan atau kekerasan seksual, apakah ada unsur eksploitasi dari satu pihak ke pihak lain saat terjadi interaksi seksual. 

Jika keadaannya adalah mau sama mau antara pihak yang melakukan aktivitas seksual, maka hal ini tidak bisa dianggap sebagai kekerasan seksual, melainkan sudah masuk ke perzinahan yang seharusnya diatur pada ketentuan lain di luar Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.(Habiby, 2021; Heylaw Edu, 2022).

Begitu banyak pendapat ahli yang mengemukakan tentang Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 membuat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menggencarkan sosialisasi dan mengajak diskusi pihak-pihak yang masih menolak Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dengan menegaskan bahwa Kemendikbudristek tidak pernah mendukung seks bebas atau zina. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 menyasar kepada satu jenis kekerasan, yaitu kekerasan seksual dengan definisi yang sangat jelas. 

Terlepas dari banyaknya aktivitas di luar tindakan kekerasan seksual yang bertentangan dengan norma agama dan etika di lingkungan perguruan tinggi, target dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini merupakan upaya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual (Kristina, 2021; Detikedu, 2022).

Apakah Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021  Ini Sudah Aplikatif?

"Tidak ada pembelajaran tanpa rasa aman. Dan ini merupakan kenapa di dalam perguruan tinggi kita, kita harus mencapai suatu ideal yang lebih tinggi dari sisi perlindungan daripada masyarakat di dalam perguruan tinggi kita, baik itu dosen, mahasiswa, maupun semua tenaga kependidikan di dalam lingkungan kampus," ujar Nadiem Makarim dalam acara Merdeka Belajar Episode14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual

Seperti yang dilabelkan, fokus utama dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 adalah kekerasan seksual dan perlindungan terhadap setiap hak yang dimiliki oleh korban. Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dilaksanakan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.

Dari bagian awal, isi dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini sudah secara eksplisit dan komprehensif menjelaskan mengenai sasaran peraturan ini, bentuk kekerasan seksual, dan juga penanganan yang wajib dilakukan oleh perguruan tinggi. Terkait dengan bagian yang membahas penanganan terhadap laporan kekerasan seksual, ketentuan ini diatur secara jelas dalam pasal 10 hingga 19. Adapun poin-poin yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut:

  1. Pendampingan
  2. Perlindungan
  3. Pengenaan sanksi administratif
  4. Pemulihan korban

Selain itu, pasal 14 Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini juga menjelaskan mengenai sanksi terhadap pelaku. Nadiem menjelaskan, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku harus berdasarkan pada dampak yang muncul akibat perbuatannya terhadap kondisi korban dan lingkungan kampus, bukan berorientasi pada pelaku. Lalu, peraturan ini juga mewajibkan setiap institusi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) dan melakukan Pemantauan dan Evaluasi (monev) secara rutin setiap semester sebagai bentuk tindak lanjut dari pembentukan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini.

Apakah aplikatif? Rasanya itu bukanlah hal yang perlu ditanyakan lagi, karena pembentukan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini merupakan langkah konkret pemerintah untuk memberantas kasus kekerasan seksual, terkhusus di perguruan tinggi. Selain itu, setiap poin yang terdapat di dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini sudah dijelaskan dengan sangat lengkap dan jelas sehingga institusi-institusi bisa dengan mudah untuk melaksanakannya.

Beberapa mungkin masih terombang-ambing oleh anggapan bahwa "Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 melegalkan zina". Pemaknaan yang salah ini disebabkan oleh kesalahan persepsi atau sudut pandang karena adanya klausul yang diambil di luar konteks. Menghilangkan frasa "tanpa persetujuan korban" menjadikan aturan tidak berguna serta membuat posisi korban semakin rentan karena tidak ada lagi penegas yang membatasi bahwa dia adalah korban kekerasan seksual.

Pun sudah begitu jelas bahwa, "Fokus Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 adalah pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual. Sehingga definisi dan peraturan yang diatur dalam permen ini khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual. Tidak ada satu pun kata dalam Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinahan. Tajuk di awal Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini adalah 'pencegahan' bukan 'pelegalan', ujar Nizam.

Sebagaimana ditekankan juga oleh Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Diah Pitaloka mengatakan, "Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tidak berdiri sendiri karena kita masih ada norma sosial, agama, dan undang-undang lain seperti undang-undang perkawinan, KUHP, dan banyak undang-undang lain yang juga akan terintegrasi dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ," Semenjak April 2022 UU TPKS juga sudah resmi disahkan oleh Ketua DPR, Puan Maharani, dengan harapan mampu memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan melindungi korban kekerasan seksual.

Urgensi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Ini Begitu Penting

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti. 

Dari survei Ditjen Diktiristek pada 2020, tercatat sekitar 77 persen dosen mengaku ada kekerasan seksual di kampus dan 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya pada pihak pengelola universitas. Sementara, dikutip dari situs resmi Komnas Perempuan, tercatat sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 27 persen aduan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi (Media, 2022).

Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengatakan, minimnya pengaduan kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan bahwa tidak semua kampus mempunyai aturan yang jelas, implementatif dan efektif terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual termasuk pemulihan korban Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam mengatakan, beberapa organisasi dan perwakilan mahasiswa menyampaikan keresahan dan kajian atas kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi yang tidak ditindaklanjuti (Budiman, 2022).

"Dalam konteks kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, terjadi karena relasi kuasa yang menimbulkan ketidakberdayaan korban. Umumnya pelaku memanfaatkan kerentanan, ketergantungan dan kepercayaan korban kepadanya," ujar Alimatul dalam keterangannya yang dikutip pada Selasa, 9 Oktober 2021 (Budiman, 2022).

 

Penutup

Mahasiswa UNRI yang menjadi korban pelecahan seksual oleh dosennya sendiri dan malah mendapat tuntutan balik oleh pelaku setelah melakukan pelaporan. Ini menjadi salah satu cerminan bahwa hak mahasiswa dan tenaga kerja untuk merasa aman dan terlindungi dari kekerasan seksual di lingkungan kampus belum terpenuhi. 

Disahkannya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 sebagai payung hukum PPKS di tingkat perguruan tinggi merupakan salah satu progress dalam upaya menciptakan lingkungan kampus yang merdeka dan aman dari kekerasan seksual. 

Disahkannya UU TPKS juga dapat memperkuat legitimasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 karena kini sudah ada hubungannya dengan hukum yang tingkatnya lebih tinggi. Sinergi antara 2 hukum ini juga diperlukan untuk melawan dan mencegah kekerasan seksual baik di lingkungan umum maupun kampus. Terakhir, dengan adanya UU TPKS ini semakin menguatkan implementasi Permendikbudristek dan harus dikawal dalam pelaksanannya

Banyaknya pro kontra yang bemunculan seperti masalah pemilihan kata tidak menurunkan urgensi pentingnya menyegerakan pengaplikasian Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 . 

Diharapkan kasus kekerasan seksual dapat diselesaikan sejalan dengan pengaplikasian Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 sehingga tidak menghambat pemenuhan hak masyarakat kampus terkait perlindungan atas kekerasan seksual. Adanya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 merupakan langkah yang sangat besar dan vital yang dapat membawa angin segar terhadap penyelesaian masalah kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Oleh karena itu, mari kita kawal dan dukung implementasinya karena implementasi dari Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 sangat vital untuk melindungi segenap masyarakat kampus.

Penulis Kajian 

  • HPS ISMKI Wilayah 2 :
    1. Alif Ikhwanudin
    2. Anne Jehian Assa
    3. Liza Marestavia
    4. Rizki Fitrah Rahmani Saleh
    5. Esyl Faiza Rahma
    6. Nur Aida Hidayati
    7. Salfa Azizah Giyatsilah
    8. Muhammad Arief Darmawan
    9. Ade Zaidan Farras
    10. Nafisa Salma Wulandari
    11. Ihsan Febrianto Rahman
  • Kastrat FK Unjani :
    1. Esyl Faiza Rahma
    2. Kendra Nabil Athallah
    3. Hayfa Ghassani Rahmat
    4. Tamma Rahagi Wibowo
    5. Daffa Nopriyanto
    6. Danisya Aliya Noer
    7. Rio Fabian WIjaya
    8. Muhammad Tafarrel Al Ghifari

        Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun