Pembahasan terkait kredibilitas tidak hanya berhenti di pasal ketiga saja melainkan berlanjut di pasal keempat. Dituliskan di Kode Etik Jurnalistik bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Verifikasi sumber menjadi hal yang wajib dilakukan sebelum sebuah berita dipublikasikan kepada masyarakat umum. Semua ini dilakukan untuk menjaga citra jurnalis sebagai sosok yang mampu dipercaya dalam berbagi informasi.
Prinsip ini bisa dijadikan sebagai pengingat utama bagi para jurnalis untuk menjunjung tinggi kredibilitas dengan tidak mudah terperangkap pada teknologi deepfake yang mampu menjerumuskan.
Mengingat juga penerapan jurnalisme multimedia yang sudah semakin akrab, membuat konten sebuah berita tidak hanya berdasar pada bentuk teks saja.
Jangan sampai jurnalis dengan ketidaktahuannya, terlalu polos menganggap konten deepfake sebagai sesuatu yang valid. Apalagi jangan berujung hingga dibuatnya sumber informasi tersebut sebagai produk berita yang nyata.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menegaskan jika wartawan harus bisa mencari dan mendalami sebuah kejadian secara cermat. Termasuk bisa memisahkan antara fakta dengan hoaks, maupun hate speech dengan opini.
Oleh karena itu, pengenalan lebih dalam akan teknologi deepfake bisa menjadi salah satu upaya bagi jurnalis multimedia untuk melawan balik kebiasan informasi.
Kesadaran Semua Pihak
Demi menghadapi teknologi deepfake yang sangat membahayakan, jurnalis multimedia di Indonesia harus berkompeten dalam melakukan verifikasi data.
Hal ini termasuk pada bagaimana mereka bisa mengenali apakah konten yang didapat di dunia maya telah dimodifikasi oleh teknologi deepfake.
Pratama Persadha sebagai Peneliti Keamanan Siber dari Communication Information System Security Research Center, menjelaskan jika ancaman deepfake terutama video palsu sebagai bahaya hoaks harus diwaspadai sejak awal.