Masyarakat umum bisa saja percaya bahwa konten tersebut adalah riil. Padahal, tokoh penting tersebut sebenarnya tidak mengucapkan apa-apa.
Lilik Dwi Mardjianto mengatakan bahwa video deepfake memang belum banyak beredar di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada jaminan pula bahwa perkembangan teknologi manipulasi ini akan melambat.
Keberadaan deepfake sudah harus menjadi urgensi para jurnalis karena akan sangat berisiko apabila mereka terlalu mudah percaya pada foto dan video yang beredar di internet tanpa bisa mengenalinya.
Jurnalis di era multimedia harus bisa melawan balik dan membantu masyarakat agar mendapat klarifikasi atau pembenaran atas konten digital yang mereka terima.
Maka, kompetensi dalam pencarian sumber wajib ditingkatkan demi menjaga kredibilitas sebagai salah satu kepatuhan seorang jurnalis dalam kode etik jurnalistik.
Kredibilitas Sebagai Kode Etik
Sebagai seorang jurnalis, negara Indonesia memiliki standar atau peraturan dasar yang menjadi acuan dan harus dipatuhi dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Pedoman ini dinamakan Kode Etik Jurnalistik. Septiawan Santana menjelaskan kalau Kode Etik Jurnalistik adalah sekumpulan prinsip moral yang merefleksikan peraturan dan wajib dipatuhi oleh seluruh wartawan.
Kode Etik Jurnalistik ditetapkan oleh Dewan Pers pada tahun 1999 dan selalu menjadi pegangan jurnalis Indonesia saat menjalankan tugasnya.
Dalam Kode Etik Jurnalistik di pasal yang ketiga, terdapat sebuah kalimat yang tertulis bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Beberapa kata yang disebutkan di awal menunjukkan kalau jurnalis Indonesia harus bisa melakukan check dan recheck tentang sebuah informasi untuk dicari kebenarannya.