Sumber-sumber dalam pembuatan berita multimedia sudah lebih fleksibel semenjak hadirnya internet dan dunia online.
Jurnalis bisa menemukan banyak sekali fenomena-fenomena di lingkungan yang disebarluaskan di dunia maya yang kemudian bisa dijadikan sebagai bahan tulisan.
Lantas, apa yang terjadi jika jurnalis tidak sadar bahwa sumber yang diterima di internet, baik gambar maupun video adalah sesuatu yang palsu?
Persoalan ini dapat dipahami dengan melihat bagaimana teknologi Deepfake mengancam kehidupan jurnalis multimedia.
Ancaman Teknologi Deepfake
Sebagian besar kegiatan yang manusia lakukan setiap harinya sudah bersinggungan dengan teknologi. Inovasi dan perkembangan yang diberikan membuat fenomena digitalisasi menjadi semakin nyata.
Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya yaitu jurnalisme multimedia, jurnalis di Indonesia harus mulai siaga dan berhati-hati dengan bahayanya teknologi deepfake.
Sayid Muhammad Rifki Noval berpendapat bahwa istilah deepfake pada dasarnya digunakan untuk menunjuk video pelapis wajah dengan sistem hyper-realistic yang ditempelkan pada tubuh orang lain.
Tujuan penggunaan teknologi ini sangat tidak etis karena membuat video baru dengan menggunakan representasi palsu. Deepfake mampu disalahgunakan untuk memicu keributan dan hal yang tidak diinginkan.
Misalnya video Obama yang pernah dimanipulasi pada tahun 2018. Teknologi tersebut dipakai untuk merubah wajah seseorang yang sedang berbicara dengan wajah presiden Amerika tersebut serta mengatakan sesuatu yang tidak baik.