Saya tidak akan membahas profesi dan pehobi lain dalam tulisan ini. Ini terbatas untuk para penulis. Di Kompasiana, namanya Kompasianer. Saya termasuk, mungkin juga Anda. Orang-orang yang menghasilkan tulisan sebagai produk dari daya pikirnya.
Hari ini tanggal 28 Oktober 2021. Masyarakat tahu, hari Sumpah Pemuda sedang diperingati. Tepatnya, 93 tahun lalu, peristiwa terjadi. Saya tidak akan ulas karena barangkali sudah banyak yang menjelaskan dan Anda pun bisa cari sendiri di media peramban.
Kita tahu, Sumpah Pemuda ada tiga (dalam ejaan saat itu):
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Izinkan saya menyinggung yang ketiga, karena sangat erat kaitannya dengan dunia tulis-menulis.Â
Bulan ini juga bulan bahasa
Saya tidak tahu apakah Anda tahu atau tidak bahwa bulan Oktober adalah Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jika Anda termasuk kalangan akademisi, penulis, sastrawan, penggiat bahasa, atau pemerhati bahasa, kemungkinan besar tahu.
Cukup banyak acara literasi dan perhelatan digelar demi meramaikannya. Taruhlah seperti seminar, lomba pidato, pembacaan puisi, penulisan cerpen, dialog antarpenulis, bisa pula lainnya.
Dari radioedukasi.kemdikbud.go.id, alasan ditetapkannya bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia merujuk pada sejarah bangsa Indonesia. Sejarah mencatat pada tanggal 28 Oktober 1928 dikumandangkan Sumpah Pemuda, dalam keputusan Kongres Pemuda II, di Jakarta.Â
Selanjutnya, setiap tanggal 28 Oktober bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sejak itulah ditetapkan pula bahasa resmi yang digunakan untuk bermasyarakat, yakni Bahasa Indonesia.
Usaha penulis menjunjung bahasa persatuan
Sungguh bertepatan momennya, Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia. Barangkali terjadi secara sengaja, tidaklah masalah.Â
Yang perlu mendapat perhatian untuk benar-benar disengaja adalah peranan penulis dalam menyosialisasikan bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga sekaligus menjunjung bahasa persatuan.
Sebisa mungkin berbahasa Indonesia
Entahlah, saya sudah Kompasianer keberapa yang menyinggung masalah ini. Saya singgung diri saya dulu dalam-dalam, setiap menghasilkan tulisan.
Saya sunting satu demi satu, berapa jumlah pemakaian bahasa asing yang sekiranya memang tidak dapat dialihbahasakan. Apakah padanannya belum atau tidak ada?
Kenyataannya, sebagian istilah belum diserap. Saya juga pernah mengalami kebingungan dan akhirnya harus memaksakan berbahasa asing dengan menyajikannya berhuruf miring.
Contohlah seperti: personal branding, barcode, laundry, photocopy, outbound, screenshot, grand launching, powerpoint, drive thru. Kita sudah ada bahasa Indonesianya (secara berurutan): penjenamaan diri, kode batang, penatu, fotokopi, mancakrida, tangkapan layar, peluncuran resmi, salindia, dan lantatur (layanan tanpa turun).Â
Bisakah kita sebagai penulis lebih mengutamakan lantas membiasakan berbahasa Indonesia? Ada baiknya keminggris dihentikan jika memang sudah ada padanannya.
Pilih kata baku
Waktu menulis, Anda sering pakai "afdol" atau "afdal"? Apotek atau apotik? Terlanjur atau telanjur? Abjad atau abjat? Advokat atau adpokat? Asas atau azas? Zaman atau jaman?
Saya tidak sedang menjadi guru Bahasa Indonesia di sini. Saya hanya sedang dan akan terus belajar hal-hal itu selama masih menulis. Kata-kata baku (sudah benar sesuai standar) seyogianya mendapat perhatian utama untuk dipraktikkan.
Kita sebaiknya tidak membiasakan yang salah-salah. Dari Kompas, Dini Fitri berdasarkan buku Pedoman Kata Baku dan Tidak Baku (2017), menjelaskan secara umum, fungsi bahasa baku:Â
Pemersatu, pemakaian bahasa baku dapat mempersatukan sekelompok orang menjadi satu kesatuan masyarakat bahasa.Â
Pemberi kekhasan, pemakaian bahasa baku dapat menjadi pembeda dengan masyarakat pemakai bahasa lainnya.Â
Pembawa kewibawaan, pemakaian bahasa baku dapat memperlihatkan kewibawaan pemakainya.Â
Kerangka acuan, bahasa baku menjadi tolok ukur bagi benar tidaknya pemakaian bahasa seorang atau sekelompok orang.Â
Kitalah (salah satunya) sebagai penulis yang menguatkan dan mempraktikkan fungsinya dalam setiap tulisan.
Sajikan tulisan sesuai kaidah penulisan
Hal-hal lain selain kedua di atas, yang diatur dalam kaidah, tetap perlu mendapat perhatian dan dijadikan sebagai bahan pembelajaran penulis untuk bekal menulis.
Seperti cara menyajikan kata ulang, penggunaan huruf kapital, peletakan tanda baca, penulisan kalimat langsung dan tidak langsung, dan seterusnya.
Ada upaya
Saya tidak menampik, kita sebagai penulis sedikit repot memenuhi ketiganya. Kalau sumbernya, langsung saja rujuk ke kitab kebanggaan penulis (baca: KBBI) dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Masalah soal tambahan waktu, saya yakin, kita bisa memenuhi. Menulis itu butuh ketenangan. Kemungkinan besar tidak ada yang terburu-buru. Mengeluarkan opini secara sistematis perlu hati-hati.
Kalau niat, bisa pasti, membaca sumber itu untuk mendukung penggunaan bahasa yang benar. Apalagi, merasa bahwa tulisannya akan dibaca banyak orang.
Sudah tentu, menjadi malu jika salah-salah. Apalagi jika pembaca meniru yang salah itu. Salahnya menjadi efek domino. Menyajikan yang benar sama saja berusaha menjunjung bahasa Indonesia.
Sedikit risiko
Pada sisi lain, harus diakui, bahasa-bahasa baku dan padanan kata yang baru-baru terbit terasa kurang familier di mata pembaca. Lebih tenar mana, personal branding atau penjenamaan diri?Â
Lebih sering muncul personal branding, bukan? Tulisan kita barangkali berpotensi lebih sedikit dilirik karena menggunakan bahasa kurang populer. Tidaklah apa menurut saya. Justru inilah, saat tepat untuk memopulerkannya lewat tulisan.
Akhir kata...
Mari, para penulis (lingkup kecil: Kompasianer), kita sama-sama menjunjung bahasa persatuan. Gunakanlah sesuai kaidah dan terus menenarkannya di hadapan para pembaca.
Kita harus bangga, punya bahasa sendiri, bahasa Indonesia. Kita harus bangga pula, telah menggunakannya secara benar dalam setiap tulisan. Menjunjung bahasa persatuan tidaklah tinggal sebagai sebuah sumpah saja.
Selamat memperingati hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia.
...
Jakarta
28 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat