Dari radioedukasi.kemdikbud.go.id, alasan ditetapkannya bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia merujuk pada sejarah bangsa Indonesia. Sejarah mencatat pada tanggal 28 Oktober 1928 dikumandangkan Sumpah Pemuda, dalam keputusan Kongres Pemuda II, di Jakarta.Â
Selanjutnya, setiap tanggal 28 Oktober bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sejak itulah ditetapkan pula bahasa resmi yang digunakan untuk bermasyarakat, yakni Bahasa Indonesia.
Usaha penulis menjunjung bahasa persatuan
Sungguh bertepatan momennya, Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia. Barangkali terjadi secara sengaja, tidaklah masalah.Â
Yang perlu mendapat perhatian untuk benar-benar disengaja adalah peranan penulis dalam menyosialisasikan bahasa Indonesia yang baik dan benar, juga sekaligus menjunjung bahasa persatuan.
Sebisa mungkin berbahasa Indonesia
Entahlah, saya sudah Kompasianer keberapa yang menyinggung masalah ini. Saya singgung diri saya dulu dalam-dalam, setiap menghasilkan tulisan.
Saya sunting satu demi satu, berapa jumlah pemakaian bahasa asing yang sekiranya memang tidak dapat dialihbahasakan. Apakah padanannya belum atau tidak ada?
Kenyataannya, sebagian istilah belum diserap. Saya juga pernah mengalami kebingungan dan akhirnya harus memaksakan berbahasa asing dengan menyajikannya berhuruf miring.
Contohlah seperti: personal branding, barcode, laundry, photocopy, outbound, screenshot, grand launching, powerpoint, drive thru. Kita sudah ada bahasa Indonesianya (secara berurutan): penjenamaan diri, kode batang, penatu, fotokopi, mancakrida, tangkapan layar, peluncuran resmi, salindia, dan lantatur (layanan tanpa turun).Â
Bisakah kita sebagai penulis lebih mengutamakan lantas membiasakan berbahasa Indonesia? Ada baiknya keminggris dihentikan jika memang sudah ada padanannya.