Seperti cara menyajikan kata ulang, penggunaan huruf kapital, peletakan tanda baca, penulisan kalimat langsung dan tidak langsung, dan seterusnya.
Ada upaya
Saya tidak menampik, kita sebagai penulis sedikit repot memenuhi ketiganya. Kalau sumbernya, langsung saja rujuk ke kitab kebanggaan penulis (baca: KBBI) dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia).
Masalah soal tambahan waktu, saya yakin, kita bisa memenuhi. Menulis itu butuh ketenangan. Kemungkinan besar tidak ada yang terburu-buru. Mengeluarkan opini secara sistematis perlu hati-hati.
Kalau niat, bisa pasti, membaca sumber itu untuk mendukung penggunaan bahasa yang benar. Apalagi, merasa bahwa tulisannya akan dibaca banyak orang.
Sudah tentu, menjadi malu jika salah-salah. Apalagi jika pembaca meniru yang salah itu. Salahnya menjadi efek domino. Menyajikan yang benar sama saja berusaha menjunjung bahasa Indonesia.
Sedikit risiko
Pada sisi lain, harus diakui, bahasa-bahasa baku dan padanan kata yang baru-baru terbit terasa kurang familier di mata pembaca. Lebih tenar mana, personal branding atau penjenamaan diri?Â
Lebih sering muncul personal branding, bukan? Tulisan kita barangkali berpotensi lebih sedikit dilirik karena menggunakan bahasa kurang populer. Tidaklah apa menurut saya. Justru inilah, saat tepat untuk memopulerkannya lewat tulisan.
Akhir kata...
Mari, para penulis (lingkup kecil: Kompasianer), kita sama-sama menjunjung bahasa persatuan. Gunakanlah sesuai kaidah dan terus menenarkannya di hadapan para pembaca.