Sudahlah tentu Lamin menjadi heran dengan itu semua. Semakin masuk ke jalan utama ibu kota, mobil dan motor berdesakan, lampu lalu lintas sedikit-sedikit ada, persimpangan jalan begitu riuh, asap knalpot putih dan hitam beterbangan dari dan ke mana-mana, semua tumpah ruah memenuhi jalanan. Barangkali tidak ada ruang bergerak baginya ketika keluar dari dalam taksi. Kali-kali saja pun, pintu taksi itu tidak bisa dibuka, karena jaraknya begitu dekat, bersisian dengan mobil lain.
Di kabupaten tempatnya bekerja dulu, jalanan sangat lengang. Bisa dihitung, berapa mobil dan motor yang lewat. Kalau sudah malam dan seusai azan Magrib, tidak ada orang keluar. Orang tidur telentang di tengah jalan pun, tidak apa-apa menurutnya.
Tetapi, yang namanya panggilan tugas, harus dikerjakan. Sebagai anak buah, patuh dan tunduk kepada perintah bos adalah wajib adanya. Apalagi ini sebuah tantangan baru, dan tentu semua orang suka, ketika menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Bisa dibilang Lamin pantas mendapatkan. Omset penjualan yang tinggi menjulang dari catatan perusahaan cabang tempatnya bekerja mendapat perhatian dari pimpinan pusat. Ia sendiri sebagai staf penjualan terhitung moncer menyumbangkan nilai pendapatan.
Sebetulnya, bukan alasan itu benar yang membuat akhirnya ia menerima untuk dipromosikan dan tinggal di ibu kota. Ia berharap dengan ada ia di ibu kota, ia mendapat banyak koneksi dan teman, sehingga lebih mudah dan dapat membantu mencari anak semata wayangnya. Dalam kebahagiaannya beroleh promosi, masih terbayang perasaan duka yang entah kapan selesai. Barangkali di ibu kota ada jawaban.
Anak satu-satunya hilang. Lamin ingat, ketika pulang dari kantor, dirinya terkejut mendapati rumah kosong. Istrinya sudah meninggal lama. Lamin berpesan pada anaknya yang berumur sepuluh tahun, untuk langsung pulang ke rumah seusai belajar di sekolah. Tetapi, malam itu, Lamin sudah mencari ke seluruh ruangan, tidak ada sama sekali bayangan anaknya.
Lamin mencari informasi ke mana-mana. Selain sudah melaporkan kehilangan ke petugas keamanan, ia terus menghubungi saudara dan kerabatnya. Ia membaca koran dan menonton televisi.Â
Berita paling santer terdengar, sedang ada kejahatan penjualan anak. Ada seorang penjahat tertangkap seusai mengantar anak ke ibu kota, untuk dipekerjakan sebagai peminta-minta, yang seharusnya dalam usia mereka, duduk manis dan mendapat pelajaran di sekolah.
Begitulah, timbul harapan Lamin ketika ia melihat lima sampai enam anak berkeliaran di pinggir-pinggir jalan. Barangkali anaknya ada di antara kerumunan mereka.Â
Ia mendapati seorang bocah perempuan kecil berambut panjang berwarna kuning kecokelatan -- seperti rusak terkena sinar matahari -- bergerak mendekat ke arah taksinya. Bocah itu mengetuk-ngetuk jendela. Lamin kembali menekan tuas.
Lamin mengamati bibir bocah itu bergerak-gerak, barangkali bernyanyi, entah apa. Lamin mengerutkan kening, mencoba memahami lagu apa yang sedang dinyanyikan, diiringi dengan gecrekan beberapa tutup botol yang terpaku di sebalok kayu kecil yang tergenggam oleh tangan kiri mungil bocah itu.