Tangan kanan bocah itu menguncup dan ia menggerakkannya ke arah mulut. Ia memberi isyarat, sedang cari uang untuk makan. Lamin masih memandangnya. Tiba-tiba ia teringat wajah anaknya.
Sebetulnya, dengan berita penjualan anak yang diketahuinya, Lamin bersikukuh untuk tidak mudah tersentuh dengan setiap anak yang berwajah dekil dan seperti orang kesusahan. Mereka bekerja bukan untuk dirinya, bukan pula untuk mencari sesuap nasi. Lamin tahu, uang yang akan diberikannya pasti disetorkan ke bos mereka. Bocah-bocah itu hanya sebagai budak pekerja.
Tetapi, wajah anaknya yang terus terbayang, membuat Lamin tak tega membiarkan bocah itu terus bernyanyi tak karuan. Apalagi, ia melihat bocah itu berlari di aspal jalan siang hari, yang tentu sangat panas karena terik matahari, semakin bertambah terasa panas karena kakinya telanjang tanpa sepasang sandal.
Lamin mengambil beberapa potong roti dari kotak roti yang tergeletak di sampingnya. Awalnya, roti itu ia bawa sebagai oleh-oleh untuk bosnya di ibu kota.Â
Ia memasukkan roti-roti itu ke dalam sebuah kantung kresek hitam, lantas memberikan ke bocah. Ia tidak memberi uang, karena yang diminta bocah hanyalah makanan. Ia juga tidak mau, jika uang yang diberikan nanti malah berubah jadi rokok untuk bos si bocah itu.
Tidak hanya bocah perempuan itu. Pada lampu lalu lintas berikutnya, ketika taksi berhenti lagi, kali ini giliran bocah laki-laki dengan tubuh sedikit lebih pendek, tiba-tiba datang membawa sebuah lap kecil dan alat semprotan di tangan. Kakinya berjinjit dan tangannya terlihat ingin menggapai kaca depan taksi.
Sopir taksi menggerakkan telapak tangan ke arahnya, memberi pertanda ingin menolak. Tetapi, tetap saja, bocah itu ngotot membersihkan kaca taksi.
Dari kursi belakang, Lamin terdiam sejenak. Ia menegakkan punggung. Ia membesarkan bola mata. Ia mengamati benar wajah si bocah. Tiba-tiba terdengar suara sesenggukan. Lamin keluar dari taksi.
...
Jakarta
25 Oktober 2021
Sang Babu Rakyat