Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Belati di Mata Perempuan Itu

14 Oktober 2021   03:01 Diperbarui: 14 Oktober 2021   08:47 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mata perempuan, sumber: Pixabay

Itulah keadaannya dulu. Ia memang mengalami masa jaya, tetapi masa jaya tidak bisa bertahan selamanya. Ada kala orang di atas angin sehingga banyak yang melihat, ada pula orang di dalam tanah, tidak ada satu pun tahu.

Perempuan itu tidak sanggup melawan perputaran waktu dan perpindahan ruang. Badannya yang gemulai ketika berjalan, pipinya yang tirus, hidungnya yang mancung, kulitnya yang begitu kencang, dadanya yang kecil tetapi berisi, adalah tinggal sebuah bayangan yang selalu saja disesalinya ketika ia menatap sebuah cermin dalam kamar.

Ia memandang pipi itu sedikit gemuk. Ada goresan-goresan tua di sekitar. Beberapa lapisan kulit pada bagian tangan dan kaki sudah mulai jatuh, bahkan bergelambir di perut. Masa tua sungguh sulit ia terima, tetapi mau tidak mau akan datang jua.

Semenjak tubuhnya berubah perlahan, tentu, siapalah orang yang mau mempekerjakan? Gadis-gadis baru yang jauh lebih elok lebih layak menggantikan. Barangkali tidak ada mata-mata yang tertarik lagi untuk memandangnya. Busana demi busana bisa saja tidak laku. Keuntungan pengelola gedung dari penjualan tiket semakin kabur.

Ia terduduk lesu. Tidak ada lagi semangat hidup. Masa tua memang penuh tantangan, barang sekadar mengumpulkan gairah, sangat gampang redup. Waktu semakin cepat berlalu.

Karena tidak ingin stres lama-lama, ia mulai mencari kesenangan dengan makan apa saja. Ia tidak lagi menghitung kalori dalam setiap masakan. Ia tidak lagi memilih dan memilah makanan yang sedikit lemak. Diet sehat pun hanya jadi wacana. Makanan cepat saji -- sering kali enak -- disantap membabi buta.

Ia lepaskan gundah dengan terus dan terus makan. Badannya bertambah besar, terus melebar. Matanya perlahan menyipit, tertekan lemak-lemak pipi yang menggerumbul. Dadanya tidak lagi menonjol, karena hampir sama dengan gumpalan daging yang terus menumpuk di sekitarnya.

Sempat ia rasa bahagia. Betapa makanan-makanan itu sungguh menghilangkan duka. Seiring dengan bertambahnya berat badan, ia mulai malas bergerak. Keluar dari kamar jika bukan karena teman yang mengajak, barangkali orang-orang tidak akan pernah melihatnya.

Suatu siang, seorang teman dari luar kota mengajaknya makan. Setelah bersiap dan merapikan diri, ia menuju pintu dan keluar dari rumah, mengendarai mobil ke tempat perjanjian.

Barangkali teman itu karena sudah lama tidak bertemu, ia kaget. Betapa perempuan yang di depan matanya, duduk sambil mengunyah ayam goreng, telah berubah menjadi hampir tidak dikenalinya. Beberapa lelaki yang dulu sempat memuja perempuan itu pun tidak tahu, bahwa ia adalah gadis peraga busana tercantik pada masanya.

Mereka berdua duduk di tengah rumah makan. Tidak ada satu pun lelaki memandang perempuan itu. Entah kenapa, perempuan itu tiba-tiba mengingat kembali masa jayanya. Melamunkan lagi tubuhnya yang begitu menggoda. Melihat sebentar sekujur tubuhnya sekarang. Seperti tidak sadar, ia tiba-tiba menyesal. Ke mana ia yang dulu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun