Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Petakan Tanah di Dekat Rumah

18 September 2021   21:02 Diperbarui: 18 September 2021   22:24 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petakan tanah, sumber: tempo.co

"Itu kan nanti," istriku berkilah lagi, "Biar dipikir orang-orang yang lahir nanti. Kita bicara sekarang. Tanah itu sayang jika tidak jadi uang!"

Kurasa percuma melanjutkan pembicaraan malam itu. Istriku bersikeras selalu, berpikir tentang uang, uang, dan uang. Sekilas aku teringat dengan berita yang pernah kubaca. Kukira istriku tidak ada bedanya dengan orang yang membabat hutan habis-habisan demi mencari penghasilan. Mereka merusak seenaknya, mematikan tumbuhan sesukanya, tanpa berpikir bagaimana orang-orang yang tinggal di sekitarnya.

Hari demi hari berlalu, aku tetap menjalankan apa yang kumau. Aku membeli banyak bibit tumbuhan. Aku menggemburkan tanah pada petakan. Pupuk-pupuk kusiapkan stoknya. Aku bahkan mempekerjakan beberapa orang untuk merawatnya.

Bagaimana dengan istriku? Apakah aku masih kedinginan setiap malam berlalu? Tentu, lelaki mana yang tahan tanpa sentuhan? 

Aku memutuskan menambah pekerjaan. Aku membuka bisnis dagang pakaian dengan teman lama yang sudah lama berjualan. Entah karena kehadiran Dewi Fortuna atau kegigihanku bekerja, bisnisku berhasil rupanya.

Uang-uang yang diminta istriku dari potensi petakan tanah itu kugantikan dari situ.

Malam-malamku tidak lagi dingin. Istriku kembali tersenyum mengabulkan aku punya ingin. Yang lebih membahagiakanku, tidak terjadi banjir lagi di lingkungan perumahan kami.

Seiring semakin besar dan lebat pohon-pohon di petakan tanah, air-air hujan yang jatuh diserap ke dalam tanah. Kami tidak perlu repot beralih ke lantai dua. Perabotan pun aman tanpa gangguan.

"Bagaimana, kau masih mau marah-marah?" tanyaku genit di atas tempat tidur pada malam itu. Istriku diam membisu. Ia tiba-tiba memelukku. Ia menarik selimut di kakiku. Ia menutup tubuhnya dan tubuhku.

...

Jakarta

18 September 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun