Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kematian di Dusun Mintono

22 Agustus 2021   01:12 Diperbarui: 22 Agustus 2021   01:45 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kematian, sumber: Republika.co.id

"Bu, bagaimana ini, Wak Tur ingin pulang. Apa kita bisa terima?" tanya Wak Ji pada istrinya, sesaat setelah menerima surat itu. Istrinya tidak menjawab. Ia juga bingung. 

Mereka berdua sudah berusaha susah payah mengembalikan nama baik keluarga. Warga dusun perlahan sudah melupakan nama Wak Tur. Dua puluh tahun adalah masa-masa yang sungguh berat untuk memulihkan nama baik. Saking tidak pernah ada kejahatan di dusun, satu saja timbul, begitu gampang dikenang.

"Apa dia benar-benar ingin pulang, Pak?" pertegas istri itu.

Wak Ji terdiam. Ia membuka kembali surat itu dan membacanya lengkap.

"Ia sekarang sudah jadi pejabat di kota. Coba lihat, Bu, apa itu jabatan yang tertulis di bawah namanya. Seorang petinggi, bukan? Mana tahu, dengan nama baiknya di sana, ia bisa diterima di sini."

"Bapak yakin?"

Sudah seminggu lewat sejak surat balasan dikirim. Dengan setengah hati dan tidak enak kepada pamannya itu, Wak Ji membolehkan Wak Tur pulang. Diam-diam, tanpa sepengetahuan warga dusun. 

Malam itu pintu rumah terbuka. Wak Tur berjalan perlahan dan tertatih-tatih. Luka yang terbuka di kakinya belum sembuh, karena diabetes.

"Paman, benar paman ingin dimakamkan di sini?" tanya Wak Ji.

"Uhuk... uhuk..."

Terdengar suara batuk keras. Wak Tur mendekatkan telapak tangan ke mulut. Ada bercak darah keluar. Wak Ji mengambil kain lap. Istri Wak Ji segera menyeduh teh panas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun