Beberapa orang dengan raut wajah gembira berjalan di pematang sawah. Mereka baru tiba dari perjalanan jauh, memakan waktu sepuluh jam, dan sampai di sebuah desa yang asri dan banyak sawahnya.
Desa itu memang terkenal dengan wisata alam. Sawah dan kebun teh terbentang luas. Beberapa orang itu berhenti sejenak. Salah seorang dari mereka merenggangkan tongkat mekanik dengan sebuah ponsel pada ujungnya.
"Keju!" ujarnya pada teman-teman. Seketika mereka semua senyum, berfoto di tengah sawah. Sebuah pemandangan yang jarang didapatkan di ibu kota.Â
Satu dua petani di sekitar tertawa sembari melihat mereka. "Aneh ya, orang-orang! Masak foto sama sawah saja senangnya minta ampun," gumam seorang petani dalam hati.
Suatu kali pada sela liburan di luar kota, saat sedang istirahat dan menyaksikan pemandangan alam dari jendela hotel, pikiran saya melayang-layang. Sebuah pertanyaan hinggap dan membuat otak ingin mencari jawabannya.
Apa sebetulnya keasyikan jalan-jalan?
Terdengar berbau filsafat. Saya hanya menganggapnya sebuah keanehan. Pernahkah kita sadari dan alami, bahwa liburan berupa jalan-jalan kita adalah hal biasa bagi orang lain?Â
Sementara itu sangat menarik untuk kita. Tiket transportasi dibeli jauh-jauh hari. Akomodasi penginapan disiapkan pada hotel di sekitar lokasi wisata. Segala hal yang hendak dibawa tanpa disuruh, kita sangat rajin merapikannya.
Hati berdetak kencang seolah tidak sabar menanti hari libur tiba. Euforia liburan bahkan seolah-olah telah terasa sejak kita mulai beranjak ke sana. Dalam perjalanan sudah senang sekali. Padahal belum sampai.
Contoh konkretnya, liburan orang kota ke desa. Suasana alam beserta keasriannya begitu memikat orang kota. Pada sisi lain, orang desa tertawa. "Mengapa mereka heran dan takjub dengan sawah? Kami sehari-hari ada di sini," begitu kiranya pemikiran sebagian mereka.