Ada sepetak pekarangan ditumbuhi sebuah pohon mangga di depan. Rumahnya hanya terdiri dari ruang tamu, satu kamar, dan sebuah dapur. Atapnya seng. Dindingnya retak-retak, hampir roboh. Lelaki itu tinggal sendiri di sana.
Karena termakan rasa penasaran, kami memberanikan diri bertamu ke rumahnya.
"Oh, kalian toh. Ayo masuk-masuk," dengan ramah lelaki itu menyilakan. Begitu hangat perilakunya, tidak seperti saat bertemu bos-bos kami. Ia melangkah menuju dapur. Sekembalinya, ia membawa sebuah nampan dengan dua cangkir teh hangat dan beberapa potong kue.
"Ayo dimakan. Kalian pasti orang desa ya?"
Kami terkejut. Bagaimana ia tahu kami datang dari desa, sementara bertemu saja baru kali ini? Bagaimana pula dia bisa tahu kami OB? Apakah dia sempat melihat kami?
"Siapa namamu?" tanyanya pada saya.
"Saya Surimin, Pak. Ini Sulepret, teman saya."
"Betul kan tebakan saya. Namamu ndeso banget."
Saya sedikit geram. Mulai lagi dia berperilaku seenak udelnya. Sulepret menelan ludah.
"Santai-santai, saya juga dulu dari desa kok. Kalian ke sini karena ingin tahu ya, mengapa saya sangat dihormati bos-bos kalian?"
Lelaki itu seperti dukun. Dia tahu apa yang membuat kami datang ke sini.