Itu semua, mereka lewati dengan jerih lelah, hanya untuk mencari si "ide". Maka ketika itu dicuri, kata bang Rhoma, "sungguh terlalu". Tidak terampuni, penulis tambahkan.
Antisipasi jiplakan
Menyimak begitu sulitnya pencarian akan sebuah ide, maka tidak heran, sering kita temui dalam setiap tulisan, ketika penulis mengutip tulisan orang, diterakan sumbernya pada catatan kaki. Minimal, disebutkan sumbernya dalam paragraf di tulisannya. Bagi para Kompasianer, adalah wajib menerakan sumber pada setiap foto yang digunakan untuk membuat tulisan menjadi semakin menarik dibaca.Â
Selain itu, dalam setiap video musik di media sosial, terutama video meng-cover lagu orang yang kini sedang marak-maraknya merebak di sana sini, pada bagian kredit-nya (keterangan), juga dicantumkan nama dari si pencipta lagu. Â
Iya, ini adalah sebuah bentuk perhormatan terhadap ide dan karya seseorang.
Tambahan untuk karya foto, tersimak pula banyak foto yang telah diberikan nama penciptanya di ujung kanan bawah foto tersebut. Menempel pada foto. Ini sungguh ide yang bagus, mengantisipasi jiplakan, semisal si penjiplak tidak menerakan nama pencipta di karyanya.
Pemerintah juga tidak tinggal diam melihat kejadian ini. Terbukti, telah diatur sanksinya secara tegas bagi orang yang melakukan plagiat, salah satunya sebagaimana Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 70, yang berbunyi,Â
"Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."
Masih banyak juga tentunya, peraturan lain yang ditetapkan pemerintah, untuk meminimalisir tindakan jiplakan ini, dalam berbagai bidang karya. Pembaca bisa mencarinya sendiri, hehe.
Tanggapan...