Intinya, yang penting menghibur, sehingga banyak tombol like berdatangan. Kalau memang sedari awal kontennya lawak sih tidak apa-apa, memang tujuannya membuat orang tertawa. Bahkan, yang cukup parah sekarang, banyak konten prank atau menjahili orang, bertebaran di mana-mana.Â
Entah, logika apa yang bisa diambil sehingga seorang bisa memberikan like untuk konten semacam ini. Bukankah menjahili orang adalah perbuatan yang tidak terpuji? Itu sudah merugikan. Barusan pula, kita dengar ada yang masuk bui gegara konten tipe ini. Memang, ini tidak mendidik, kawan.
Atau jangan-jangan, dengan semaraknya konten seperti itu, memang kita sedang diarahkan untuk terlatih menertawakan derita orang? Sudah ah, jangan dibahas lebih lanjut, ini tulisan bukan tentang konspirasi, hehe.
Sebaiknya...
Ke depan, konten kreator seyogianya lebih berpikir tentang sejauh mana konten tersebut bisa berdampak, tidak hanya sekedar memuaskan kecanduan dopamin dari tombol like.Â
Terutama bagi mereka, para konten kreator yang punya banyak pengikut, dari anak kecil, generasi milenial, sampai khalayak umum. Tentunya kita tidak berharap konten tersebut memberikan dampak negatif bagi masa depan mereka.
Akhirnya, adalah tidak salah bila kita berburu like. Yang salah adalah ketika kualitas konten menurun, tetapi like tetap atau bahkan semakin bertambah banyak.Â
Bukan candu dopamin dari tombol like yang lebih utama, tetapi dopamin karena telah bermanfaat bagi sesama, melalui konten yang berkualitas, itu yang terutama.
Tetap semangat meningkatkan kualitas konten, wahai para konten kreator. Bagi para penulis, sadarkah bahwa kita juga termasuk konten kreator lho? Konten kita berupa tulisan. Jadi, tetaplah kita terus menelurkan tulisan-tulisan yang bermanfaat.Â
Jangan sampai berhenti berkarya, hanya gara-gara tidak ada yang like.
Jakarta,
4 Juli 2020
Sang Babu Rakyat