Mohon tunggu...
Pencari Kebenaran Agama
Pencari Kebenaran Agama Mohon Tunggu... -

saya menyukai paham zionis ttapi bukan berarti saya zionis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mukti Ali Membunuh Dewa Gilang Tanpa Sengaja

8 Juni 2012   13:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:14 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum sampai keluar pintu tahanan. Dewa Gilang telah merasakan bagaimana nikmatnya menghirup udara kebebasan. Siang itu, Dewa Gilang ditemani ibunya yang sibuk kesana-kemari untuk mengurus segala keperluan pembebasan Dewa Gilang. Mereka berjalan berdua ibarat seorang kekasih karena Dewa Gilang terlihat lebih tua dari ibunya setelah mengalami masa tahanan selama empat bulan. Sangat tampak tubuh Dewa Gilang semakin kurus dan warna kulitnya juga semakin hitam, ditambah beberapa goretan tinta tato ditangannya.

Teman-temannya pun mengucapkan selamat kepada Gilang karena ia bebas pada hari itu. Meski hanya empat bulan, Gilang telah memiliki banyak teman di LP (Lembaga Permasyarakatan). Ia pun menyempatkan diri menyalami beberapa temannya sebelum melewati pintu jeruji terakhir dalam penjara tersebut.

"Dewa Gilang masih ingatkan moto kita?", tanya salah satu temannya

"Perubahan kunci kebebasan," jawab Dewa Gilang sembari mengepalkan tangannya penuh semangat.

Kasusnya tidaklah begitu berat, akan tetapi telah membuat malu keluarganya. Ia didakwa telah melakukan tindakan kekerasan kepada tetangganya. Keluarganya malu bukan karena ia di penjara, tetapi karena ia memukul seorang nenek yang merupakan tetangganya sendiri gara-gara nenek tersebut menertawai Dewa Gilang yang pada saat itu sangat susah membujuk seorang anak yang baru berumur enam tahun untuk membeli rokok baginya. Sontak saja Dewa Gilang meluapkan emosinya kepada sang nenek. Amarahnya pun berujung pada sebuah tamparan yang membuat sang nenek terjungkal ke tanah. Nenek tersebut mengalami patah tulang hidung karena wajahnya berbenturan dengan tanah.

Tiada yang istimewa dengan kedatangan Dewa Gilang ke rumahnya. Semuanya tampak biasa saja. Demikian juga dengan para tetangga Dewa Gilang, bahkan teman-teman sejawatnya hanya menyapa sepintas lalu saja. Siang itu, warga satu lingkungan rumah Dewa Gilang tampak tidak tertarik untuk menyaksikan Dewa Gilang keluar tahanan. Anak-anak pun tidak ada yang datang mengerumuni untuk melihatnya, malah ada beberapa anak yang lari ke rumahnya ketika Dewa Gilang melewati jalan di depan rumah mereka.

Sesampainya di rumah, tampak jelas kalau ayahnya masih menyimpan kekecewaan kepada Dewa Gilang. Ayahnya hanya diam ketika mereka makan siang bersama. Makan siang ala kadarnya.


Suasana rumah menjemukan, itulah kesan hari pertama Dewa Gilang setelah di penjara. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Tiada tegur sapa. Tiada nasehat. Entah mengapa Dewa Gilang seperti menjadi orang asing dalam rumah itu. Padahal, sebelumnya orang tua Dewa Gilang sangat berusaha untuk membebaskan Dewa Gilang dengan uang jaminan, meskipun pada akhirnya tidak jadi. Selain itu, Dewa Gilang membayangkan kalau keluarganya akan menyambut meriah kedatangannya meskipun ia termasuk pemuda yang suka marah-marah di rumah tapi setidaknya ia masih tetap menjadi bagian dalam keluarga tersebut.

Matahari belum terbit, Dewa Gilang telah bangun. Ia masih terbiasa dengan kehidupan penjara yang sering kali membangunkannya pagi-pagi benar, bahkan beberapa hari sebelum bebas, Dewa Gilang malah sukar tidur. Pikirannya berkecamuk akan apa yang akan dikerjakan ketika bebas nanti. Mottonya ketika dipenjara "perubahan kunci kebebasan" masih gamang untuk dikerjakan.

Ia bangkit dari tidurnya, memandangi ayam yang berjalan keluar kandangnya. Ternyata ayahnya telah duduk di sampingnya. Gilang terkejut namun hanya bisa terdiam. Ia coba berbasa-basi dengan ayahnya.

"Huh… ayam-ayam sekarang sudah malas berkokok, eh malah keluar kandang diam-diam", kata Dewa Gilang mencoba memancing respon ayahnya.

"Anak ayam akan diusir ibunya ketika ia sudah besar, ia harus mandiri", tandas ayahnya

Dewa Gilang terkejut, dan mencoba menduga-duga maksud jawaban ayahnya.

"Ayah mau mengusir saya dari rumah ini?", senggak Gilang

"Ternyata kau tak berubah, tetap saja kau utamakan emosimu. Semua orang punya emosi", jawab ayahnya ketus

"Memang orang-orang dalam rumah ini tidak tahu bersyukur, keluarganya bebas dari kurungan, eh malah seperti datang bencana", balas Dewa Gilang atas respon ayahnya

"Kami tidak kurang bersyukur atas dibebaskannya kau, harusnya kau sadar kalau hidup itu bukanlah kehendak sendiri, emosi sendiri. Betapa malunya ayahmu ini memberimu makan kalau energinya kau gunakan untuk memukul nenek-nenek. Seharusnya kau berubah", ayahnya marah, langsung kembali masuk ke dalam rumah.

Hari kedua, telah membuat ayahnya marah. Dewa Gilang pun tertunduk, diam melihat ayam yang baru mereka perbincangkan.

Ibunya menghampirinya,

"Ini tehnya Nak", kata ibunya sembari menyodorkan secangkir teh pada Dewa Gilang

"Letak di atas meja aja Bu, nanti Gilang minum", sahut Dewa Gilang.

Ibunya pun meletakkan teh tersebut di atas meja kemudian menghampiri Dewa Gilang yang berdiri di halaman rumahnya.

"Janganlah kau lawan-lawan lagi ayahmu, dia sudah tua. Ibu tahu kau tidak suka dengan respon ayah dan warga sini atas kedatanganmu. Ayahmu sudah hampir stress memikirkan biaya untuk mengurusmu agar bebas dari penjara, ditambah lagi ayah sudah tidak punya tempat untuk berjualan di pasar. Sejak kau bermasalah dengan Nek Risma, ayah langsung diusir dari tempatnya itu, kau taunya ayah selama ini berjualan pakai tempat siapa. Dan sejak empat bulan yang lalu ayah sudah tidak mau jualan lagi. Ia malu dan langsung dicela oleh masyarakat sekitar. Ayahmu lebih banyak diam di rumah. Kerjanya hanya nonton, makan dan tidur, seperti mau nunggu meninggal saja", kata ibu Gilang panjang lebar.

Dewa Gilang pun hanya terdiam mendengar cerita ibunya. Air matanya menetes perlahan. Ia coba tahan tetapi ia menjadi sangat sedih ketika melihat wajah ayahnya yang dulunya ceria sekarang jadi pendiam. Ia merasa sangat bersalah atas perubahan ayahnya tersebut.

Karena tidak tahan mendengar cerita ibunya, Gilang pun pergi keluar rumah tanpa meminum teh yang telah disajikan ibunya.

Gilang pergi ke pasar tradisional tempat di mana ayahnya biasa berdagang. Ia melihat kalau tempat ayahnya berdagang telah diisi oleh orang lain. Dewa Gilang pun duduk di tempat tersebut yang telah menjadi kedai nasi sambil memperhatikan aktivitas orang-orang di pasar.

Terdengar piring pecah.

"Dasar anak kurang ajar, berani-beraninya kau lawan ayahmu", teriak seseorang.Teriakan tersebut rupanya berasal dari kedai nasi tempat dia duduk. Teriakan itu juga dibarengi dengan lemparan beberapa piring kaca dan ada seorang pemuda yang sebaya Dewa Gilang lari keluar kedai. Pemuda tersebut ternyata anak pemilik kedai yang sedang dimarahi ayahnya karena melawan ayahnya yang sudah tua. Tak jauh pemuda itu lari keluar kedai, ia kembali masuk ke dalam kedai dengan membawa sebuah potongan piring kaca yang dia kutip dekat kakinya. Ia pun melewati Dewa Gilang menuju ayahnya.

Dewa Gilang pun bingung dengan pikiran yang negatif. Ia takut kalau pemuda tersebut malah membunuh ayahnya karena si pemuda memegang sebuah pecahan kaca dengan geramnya.

"Jangan bro", teriak Dewa Gilang sembari mencoba mengejar pemuda tersebut untuk merangkulnya agar tidak mendekati ayahnya. Namun, tiba-tiba Dewa Gilang tersandung sebuah kayu kaki meja yang membuatnya jatuh mendekati pemuda tersebut. Dengan refleks pemuda tersebut pun berusaha menangkap Dewa Gilang. Akan tetapi Dewa Gilang lebih dahulu jatuh ke tanah dan lehernya tersayat pecahan piring yang dipegang pemuda tersebut. Dengan cepat, darah mengalir dari leher Dewa Gilang. Pemuda dan orang-orang di sekitar tersebut langsung membawanya ke rumah sakit. Terlihat di tanah telah ada tetesan-tetasan darah Dewa Gilang.

Sesampai di rumah sakit, Dewa Gilang telah kehabisan darah karena lukanya cukup lebar dan di bagian leher pula. Sebelum dokter datang Dewa Gilang telah meninggal. Kabar tersebut langsung menghebohkan keluarga Dewa Gilang yang dengan segera menuju rumah sakit tempat Dewa Gilang berada.

Rumah sakit pun penuh suara tangisan. Tangisan keluarga Dewa Gilang dan tangisan keluarga pemuda tersebut. Ayah pemuda itu menceritakan peristiwa tersebut kepada keluarga Dewa Gilang diiringi tangisan.

Setelah pemakaman Dewa Gilang, ayah Dewa Gilang memeriksa barang-barang Dewa Gilang yang masih dalam sebuah tas. Rupanya Dewa Gilang belum sempat memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari. Dalam tas tersebut hanya ada beberapa helai pakaian Dewa Gilang dan terselip sebuah surat.

Surat buat ayahku, sumber hidup dan darahku.

Engkau masih terus berjuang, tak pernah bosan atau dikalahkan lelah di dalam setiap perjuanganmu.

Tak pernah mengeluh meskipun hatimu kadang tersakiti oleh buah hatimu sendiri tetapi engkau selalu tersenyum menatap harapanmu yang tak akan pernah engkau nikmati.

Berlutut berdoa dan menangis dihadapan Sang Maha Pengasih, bukan untuk mengasihi dirimu tetapi untuk memberikan hidupnya pada anak yang menyakitimu.

Ayah, aku bangga padamu. Meskipun kadang engkau marah tetapi aku tahu kasihmu jauh melebihi amarahmu.

Aku tak mampu berjanji memberikan harta dunia buatmu tapi aku janji akan selalu berdoa buatmu sehingga Tuhan Yang Maha Esa memberkati engkau, aku juga akan menjadi sepertimu karena aku yakin darahmu mengalir didalam darahku

Seandainya aku meninggal nanti, aku akan sampai pada Tuhan bahwa ayah adalah ayah terbaik di seluruh dunia.

Tak tertahankan air mata mengalir di pipi ayahnya, demikian juga ibu Dewa Gilang yang turut membaca surat tersebut. Ayahnya sadar bahwa sifat pemarah Dewa Gilang merupakan turun dari sifat ayahnya. Dewa Gilang sama seperti ayahnya, ketika muda sangat pemarah walaupun ketika berkeluarga telah terjadi perubahan. Mereka begitu terharu. Mereka malah mengenang Dewa Gilang yang begitu lembut dan penyayang. Dewa Gilang yang pemarah ternyata hanya sebagai topeng akan rasa sayangnya. Ayahnya tahu bahwa ia adalah seorang anak yang tidak mampu mengungkapkan rasa sayangnya dengan suatu tindakan karena ayahnya pun demikian.

Tak berapa lama, keluarga pemuda yang di pasar tersebut mendatangi keluarga Dewa Gilang. Mereka sadar bahwa mereka adalah penyebab kematian Gilang. Mereka juga bersyukur atas respon keluarga Dewa Gilang yang tidak mau mempersoalkan masalah tersebut kepada polisi. Selain itu, mereka juga bersyukur setelah kejadian tersebut hubungan pemuda tersebut dengan ayahnya menjadi baik.

"Bapak dan ibu, kedatangan kami kemari ingin mengungkapkan rasa berduka kami sekeluarga. Kami sadar bahwa kami telah bersalah. Dewa Gilang meninggal akibat pertengkaran kami. Oleh karena itu, saya mau memberikan tempat saya berjualan di pasar untuk keluarga Bapak. Tidak seberapa, namun kiranya bisa menolong perekonomian Bapak. Selain itu, Mukti Ali (nama pemuda tersebut) mengalami trauma mengingat apa yang diperbuatnya, bahkan beberapa malam ini dia sukar tidur dan selalu berdoa kepada Tuhan mohon pengampunan. Selain itu, ia tidak sanggup datang ke kedai karena akan membayangi pikirannya dengan peristiwa tersebut. Maka, kami telah putuskan kalau kami mau pindah dari kota ini. Ingin memulai hidup yang baru dengan hubungan keluarga yang baru", kata bapak pemuda tersebut kepada ayah dan ibu Gilang.

Suasana haru pun kembali terjadi, mereka kembali berpelukan seakan telah menjadi sebuah keluarga. "Terima kasih Pak, semoga keluarga kita semua bahagia dan hubungan di antara orang tua dan anak-anak kita bisa baik. Hubungan itu adalah harta keluarga", jawab ayah Gilang.

Kalimat ayah Dewa Gilang menjadi kalimat penutup untuk mengingat kejadian yang sangat menyedihkan tersebut. Setelah kalimat itu, mereka mulai berbincang dengan topik lain dan makan bersama-sama karena keluarga Mukti Ali membawa makanan untuk dimakan bersama.

Jakarta,04 Juni 2012

Cerpen Ini Hanya Sebuah fiksi,jika tokoh didalamnya di singgung mengenai Dewa Gilang  dan mas Mukti Ali mohon maaf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun