Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Genetik Memengaruhi Kecerdasan?

11 April 2021   10:29 Diperbarui: 11 April 2021   10:35 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada satu hal menarik ketika seseorang mengomentari tulisan Saya yang berjudul "Indonesia Punya Silicon Valley, Mungkinkah?" yang Saya share juga di Twitter. Orang itu berkata bahwa kecerdasan seseorang ditentukan oleh faktor genetik, tentunya dia menganggap Saya adalah seorang penulis yang bodoh karena telah membuat tulisan itu. 

Sontak saja Saya membalas, "semua orang berpotensi menjadi pintar dan bodoh, faktor genetik hanyalah bonus." Yes, orang itu menertawakan Saya karena berkata bahwa faktor gen adalah bonus, dan Saya pun tidak keberatan. Tetapi pada faktanya, kecerdasan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Sebelum Saya menjelaskan landasan perkataan Saya, ada baiknya Saya jelaskan dulu perspektif kecerdasan berdasarkan genetik.

Gambar 1/tangkapan layar dokpri
Gambar 1/tangkapan layar dokpri
Banyak penelitian berkata bahwa seorang ibu membawa kromosom XX, sedangkan seorang ayah membawa kromosom X dan Y. Intelektualitas dan aspek kognitif banyak dicetak oleh kromosom XX,  maka dari itu ibu yang cerdas/pintar akan melahirkan anak yang cerdas/pintar pula.

Dikutip dari laman Halodoc, alam menyelidiki masalah di atas, para peneliti pernah menggunakan tikus sebagai alat percobaannya. Mereka meyakini kalau kecerdasan adalah salah satu condition gen yang hanya dimiliki oleh gen ibu. Nah, studi yang dimodifikasi secara genetik itu membuktikan hal tersebut. 

Para peneliti mengidentifikasi sel-sel yang hanya berisi gen ibu atau ayah di enam bagian berbeda dari otak tikus. Bagian ini mengontrol fungsi kognitif berbeda, dari kebiasaan makan hingga memori. Sel dengan gen paternal terakumulasi di bagian sistem limbik, yang terlibat dalam fungsi seperti seks, makanan, dan agresi. Tetapi para peneliti tidak menemukan sel paternal di korteks serebral, di mana fungsi kognitif paling maju berlangsung. Contohnya seperti penalaran, pemikiran, bahasa, dan perencanaan. 

Namun jangan kecewa dulu, objek penelitian itu bukan hanya dari tikus, melainkan juga berasal dari interview terhadap wanita usia 14 - 22 tahun, seperti yang dilakukan oleh peneliti dari University of Washington. Hasilnya, prediktor terbaik adalah IQ dari gen sang ibu.

Gambar 2/tangkapan layar dokpri
Gambar 2/tangkapan layar dokpri
Tetapi Saya tidak sepenuhnya setuju dengan penelitian itu, makanya Saya bilang bahwa genetik hanya bonus. Kenapa? Ibu Saya buta huruf, tidak bisa baca dan nulis, tidak sekolah. Almarhum bapak Saya tidak tamat SD, saudara Saya hanya lulusan SMP dan SMA. Sedangkan Saya? 

Waktu kelas 2 SD Saya pernah tidak naik kelas, tentu fakta itu teramat menyakitkan dan membuat Saya malu. Secara genetik, Saya tidak memiliki bakat kecerdasan. Tetapi, apa yang membuat Saya akhirnya bangkit? Tentu jawabannya adalah kemauan untuk berubah.

Di usia 7 tahun Saya sudah merasakan kegagalan, sejak saat itu Saya mulai berubah. Dulu Saya tidak lancar membaca, tidak bisa ilmu matematika, apalagi bahasa inggris. Tapi rasa malu itu membuat Saya nekat untuk berubah, dalam waktu singkat Saya sudah lancar membaca dan berhitung. Saya pun dipindahkan ke golongan A, di mana isinya anak-anak pintar.

Secara genetik, Saya tidak mewarisi gen IQ tinggi tetapi kemauan Saya untuk berubah yang akhirnya membuat Saya memenangkan kompetisi karya ilmiah remaja, english debate, kompetisi menulis esai tingkat nasional (penulis terpilih). 

Teman-teman Saya menganggap Saya pintar, banyak followers Saya di Instagram menganggap bahwa Saya orang yang cerdas, objektif, bijak, dlsb. Namun label-label itu tidak penting buat Saya, karena Saya masih merasa sebagai orang bodoh yang hidup di dalam univers yang teramat luas ini.

Gambar 3/tangkapan layar dokpri
Gambar 3/tangkapan layar dokpri
Saya tidak menolak bahwa gen mewarisi kecerdasan, namun Saya menganggap itu sebagai bonus. Argumen Saya juga sejalan dengan peneliti lain yang menyebutkan bahwa, genetik bukan satu-satunya faktor yang membuat seseorang menjadi pintar/cerdas, namun pengaruh lingkungan juga bisa membuat seseorang menjadi pintar atau bodoh. Maka dari itu Saya berkata bahwa, setiap orang berpotensi menjadi cerdas dan bodoh.

Ketika Saya tidak naik kelas, sebelumnya Saya bergaul dengan teman Saya yang tidak pernah menulis, tidak pernah membaca, yang akhirnya membuat Saya ikut terjebak. Namun ketika sudah ada kemajuan, Saya tidak anti kepada mereka (orang tidak pintar). 

Lingkungan yang mempengaruhi intelektualitas Saya, ditambah dengan kemauan untuk berubah, dukungan materi juga sangat berpengaruh. Maka dari itu, teramat konyol jika pintar/cerdas hanya dipengaruhi oleh gen semata.

Teruntuk kalian yang merasa tidak/kurang pintar, yakinlah bahwa kalian bisa menjadi pintar/cerdas asalkan ada kemauan. Jangan gampang menyerah, teruslah berusaha, karena hasil tidak akan mengkhianati usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun