Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mewaspadai Intervensi China

18 Oktober 2019   09:42 Diperbarui: 18 Oktober 2019   10:12 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via Law-Justice

Islamabad merasa bahwa kesepakatan yang telah ditandatangani kedua negara lebih dari satu dekade yang lalu itu tidak adil dan lebih banyak menguntungkan perusahaan-perusahaan China. China-Pakistan Economic Corridor adalah proyek pembangunan raksaksa yang bertujuan untuk menyambungkan Pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan daerah Xinjiang di China melalui jalan raya, jalur kereta, serta pipa bawah tanah. 

Menurut Financial Times, CPEC merupakan proyek terbesar dan paling ambisius dari OBOR yang nilainya sekitar 62 miliar US$. PM Malaysia, Mahathir Mohamad pada bulan Juli, mengatakan sejumlah proyek terkait OBOR di Malaysia dihentikan sementara dan biaya-biaya proyek itu akan ditinjau kembali. 

Keputusan itu diambil oleh PM Malaysia karena ia tidak mau terciptanya sebuah kondisi di mana kolonialisme versi baru tercipta karena negara-negara miskin tidak mampu bersaing dengan negara kaya, maka dari itu kita membutuhkan perdagangan yang adil.

Financial Times mencatat, Pakistan, Sri Lanka, Laos, dan Montenegro, masuk dalam daftar proyek OBOR yang tersendat dan berakhir dengan utang yang menggunung, seperti kasus Sri Lanka dan Maladewa. Jumlah negara yang mengalami hal serupa bukan tidak mungkin akan bertambah. 

Menurut Financial Times, banyak dari 70-an negara yang terlibat dalam OBOR adalah negara-negara dengan ekonomi yang cukup berisiko menurut data yang dikeluarkan oleh OECD. 

Guardian melaporkan, mereka khawatir China akan menggunakan OBOR sebagai alat diplomasi perangkap utang yang nantinya akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang menguntungkan China, misalnya dalam kasus pertikaian LCS dan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia. 

Sejumlah negara lain juga khawatir bahwa kehadiran China melalui OBOR di banyak negara akhirnya akan berujung pada ekspansi militer.

Di Indoneisa sendiri salah satu proyek OBOR yang sedang berjalan adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Presiden Jokowi menyambut OBOR secara posiitf karena dirasa sejalan dengan visinya untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara maritim. 

Meski demikian, laporan dari Tenggara Strategics, Indonesia mesti bersikap hati-hati terhadap inisiatif. Terlebih, kontroversi terkait rumor tenaga kerja China dalam waktu beberapa terakhir ini cukup marak. Bukan tidak mungkin, saat Indonesia tidak berhati-hati, negara ini akan memiliki masalah dengan OBOR.

Seperti yang sering saya tekankan pada esai yang membahas masalah ekonomi Indonesia, bahwa Indonesia (dan negara) lain, hanya dijadikan arena adu kekuatan perang dagang antara China dan AS. Mungkin oleh sebab itulah Bung Karno mewanti-wanti agar negara ini bisa Berdikari. 

Jangan sampai Indonesia lepas dari cengkraman Amerika, masuk ke dalam cengkraman China. Namun sayangnya sikap non-blok yang diprioritaskan oleh Bung Karno, semakin berganti pemimpin, semakin condong ke salah satu blok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun