A. PENDAHULUAN
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali mengemuka dalam ruang publik pada 2025. Sebagai bagian dari agenda reformasi hukum nasional, revisi KUHAP seharusnya membawa semangat pembaruan sistem peradilan pidana yang lebih adil, akuntabel, dan berpihak pada hak asasi manusia. Namun, di balik
semangat tersebut, muncul kekhawatiran mendalam: apakah RUU KUHAP yang kini sedang disusun benar-benar mengarah pada kemajuan, atau justru menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil dan demokrasi.
Kebebasan sipil merupakan jantung dari kehidupan demokratis. Hak untuk bersuara, berkumpul, berekspresi, dan mendapat perlakuan hukum yang adil tidak boleh dikompromikan oleh regulasi
apa pun. Oleh karena itu, ketika draf RUU KUHAP memuat sejumlah pasal yang membuka ruang penyalahgunaan wewenang dan memperkuat dominasi negara atas warga, kita patut mengkritisi
secara serius arah kebijakan hukum yang tengah digodok.
B. ISI
Arah RUU KUHAP Revisi atau Represi
Secara normatif, tujuan revisi KUHAP adalah untuk memperbarui hukum acara pidana warisan kolonial Belanda yang sudah tidak relevan dengan konteks demokrasi modern. Namun, revisi tidak serta merta menjadi jawaban jika justru mengabaikan prinsip-prinsip hukum progresif.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam draf RUU KUHAP adalah soal perluasan kewenangan penegak hukum.
Pasal-pasal dalam RUU ini memberikan peluang besar bagi penyidik dan penuntut umum untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, dan penahanan tanpa mekanisme kontrol yudisial yang
memadai. Hal ini bertentangan dengan prinsip due process of law, yaitu proses hukum yang adil dan dijalankan dengan pengawasan ketat agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Dalam banyak negara demokrasi, penyadapan dan penggeledahan hanya bisa dilakukan dengan izin pengadilan. Namun dalam RUU KUHAP versi Indonesia, mekanisme itu cenderung dilonggarkan. Lebih lanjut, RUU ini cenderung mempertahankan pendekatan represif dalam penegakan hukum.
Pilihan utama tetap pada pemenjaraan, tanpa terobosan signifikan dalam penerapan keadilan restorative yakni penyelesaian perkara yang berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar
hukuman. Padahal, pendekatan ini lebih relevan dalam banyak kasus ringan dan membantu mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan.
Kebebasan Sipil di Persimpangan Jalan
RUU KUHAP tidak berdiri sendiri. Ia berada dalam lanskap hukum dan politik yang lebih luas, dimana kebebasan sipil telah mengalami tantangan serius dalam beberapa tahun terakhir. Data dari
berbagai organisasi masyarakat sipil menunjukkan meningkatnya kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, dan pembela hak asasi manusia dengan dalih hukum.
Jika RUU KUHAP disahkan dalam bentuknya yang sekarang, potensi penyalahgunaan wewenang
semakin besar. Misalnya, penyadapan terhadap aktivis tanpa pengawasan pengadilan bisa digunakan untuk mencari-cari kesalahan dan membungkam suara-suara kritis. Penggeledahan dan penahanan praperadilan yang dilakukan tanpa urgensi objektif dapat menciptakan efek jera terhadap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat atau melakukan advokasi.
Ketimpangan relasi kuasa antara negara dan warga sipil menjadi semakin tajam. Negara seolah memiliki senjata legal untuk menekan warganya, sementara hak atas pembelaan, presumption of innocence, dan prinsip fair trial menjadi terpinggirkan. Ruang sipil baik fisik maupun digital akan menyempit jika KUHAP baru ini tidak menjamin perlindungan maksimal terhadap hak-hak
warga negara.
Partisipasi Publik dan Transparansi Legislasi
Salah satu kelemahan serius dalam proses penyusunan RUU KUHAP adalah minimnya partisipasi publik yang bermakna. Memang, pemerintah dan DPR telah menggelar beberapa forum uji publik.
Namun, sebagian besar berlangsung terbatas dan hanya formalitas belaka. Keterlibatan masyarakat sipil, akademisi independen, dan kelompok terdampak masih belum menjadi inti dari proses perumusan kebijakan.
Dalam konteks demokrasi, legislasi yang menyangkut hak-hak warga negara harus disusun secara transparan dan inklusif. Tidak cukup hanya melibatkan aparat penegak hukum atau pakar hukum
pidana, melainkan harus membuka ruang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, terutama mereka yang selama ini menjadi korban ketimpangan hukum. Tanpa itu, UU yang dihasilkan akan kehilangan legitimasi moral dan berisiko menciptakan ketidakadilan struktural.
C. PENUTUP
RUU KUHAP memang penting, tetapi urgensi untuk memperbaruinya tidak boleh menutup mata terhadap substansi yang sedang dibentuk. Jika draf yang sekarang tetap dipaksakan untuk
disahkan, Indonesia justru mundur dari prinsip negara hukum dan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan sipil. Kewenangan besar tanpa kontrol yudisial hanya akan menciptakan ketakutan, bukan keadilan.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa harus terus mengawasi jalannya pembahasan RUU ini dan mendorong koreksi substansi secara total. Hukum harus menjadi alat pelindung rakyat, bukan alat represi. Sebab dalam negara demokratis, kebebasan sipil bukanlah ancaman, melainkan fondasi utama keberlangsungan bangsa.
Jejak Karya, Penulis : Muhammad Niezam AditamaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI