Mohon tunggu...
Heni Kurniawati
Heni Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - Visit my personal blog, tulisanheni.blogspot.com

A woman who likes writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Dunia

22 September 2012   01:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:01 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seluruh siswa, dewan guru beserta kepala sekolah dan wakilnya, serta staf tata usaha SMAN2 (SMADA) berkumpul di Gedung Olah Raga (GOR) Chanda Bhirawa. Hari ini akan digelar pertandingan final Kejuaraan Bola Voli dan Bulu Tangkis tingkat Kabupaten, memperebutkan piala Bupati. Untuk Bulu Tangkis, hanya ada dua orang peserta Tunggal Putri dari seluruh SMA negeri dan swasta se-Kabupaten Kediri yang berhasil maju ke babak final ini. Luna, saudara kembarku mewakili SMADA, SMA kami, dan Annisa Fatimah mewakili SMA Muhammadiyah 1 (SMAMSA). Di deretan kursi sebelah kiri, para dewan guru dan undangan dari kantor Kabupaten dan Diknas duduk berjajar. Ayah dan Bunda diundang khusus untuk memberikan semangat pada Luna. Aku bersama teman-teman sekelas duduk di belakang deretan kursi sebelah kiri, di belakang ayah dan bunda. Sementara di deretan kursi sebelah kanan, duduk para guru dan perwakilan dari SMAMSA, termasuk orang tua Annisa.

Jarum jam bergeser ke angka 7.20, sepuluh menit lagi pertandingan dimulai. Bunda terlihat tidak sabar melihat putrinya bertanding, demikian pula ayah. Ayah sengaja meminta izin bolos kerja demi menyaksikan Luna beraksi. Luna memang selalu menjadi sosok istimewa, tidak hanya bagi ayah dan bunda tetapi juga bagi para guru dan teman-teman kami. Aku mendesah. Kami saudara kembar tetapi kondisi kami sangat berbeda.

Lunayang cantik, cerdas, aktif, cekatan, dan supel membuatnya disayang banyak orang, disukai, bahkan diidolakan teman-temannya. Ia adalah bintang di keluarga kami, bintang kebanggaan ayah dan bunda. Dengan kecerdasan dan ketangkasannya, ia juga menjadi bintang yang dijagokan teman-teman sekolahnya. Luna mewarisi bakat ayah yang semasa mudanya juga menjadi bintang lapangan. Berbagai kejuaraan dimenangkan oleh Luna, Renang, Tapak Suci, dan Tenis Meja. Aku yakin ia juga akan menang dalam pertandingan Bulu Tangkis tingkat Kabupaten ini. Tidak hanya perlombaan di bidang olah raga, Luna juga antusias untuk ikut dalam lomba Sains, Matematika, dan Fashion Show. Pantas kalau ayah begitu bangga padanya. Tidak salah kalau bunda juga mengistimewakannya.

Sementara aku takkan pernah bisa menyainginya. Aku terlahir dengan ketidaksempurnaan fisik yang membuatku tidak mungkin berkiprah di dunia olah raga kecintaan keluargaku. Kakiku sedikit pincang, jari-jari tangan dan kaki kiriku selalu mengepal dan tidak bisa dimekarkan. Kondisi ini membatasiku dari segala aktivitas yang ingin kulakukan. Aku takkan mungkin membawa pulang piala kejuaraan Tenis Meja dan tak mungkin pula aku membanggakan prestasi Tapak Suci pada ayah dan bunda.

Kata bunda aku jatuh dari tempat tidur ketika berusia tujuh bulan. Kepalaku terlebih dulu membentur lantai. Setelah itu, dokter bergantian menusukkan jarum infus di tubuhku, di tangan, kaki, juga kepalaku. Selanjutnya, ayah dan bunda keluar masuk ruangan dokter spesialis syaraf. Pengobatan dan terapi alternatif juga masih harus kujalani hingga kini. Namun tangan dan kaki kiriku tak kunjung normal. Kalau ingin memakai sepatu kets saja, aku harus dibantu bunda. Aku sangat sedih, nelangsa tiada tara. Jiwaku seringkali berontak mempertanyakan mengapa saudara kembarku diberikan kesempurnaan sedangkan aku hidup dalam keterbatasan. Seperti kali ini, di satu sisi aku ingin Luna memenangkan pertandingan ini, namun di sisi lain aku tak sanggup menahan rasa iri atas prestasi-prestasi yang diraihnya.

Peluit dibunyikan, tanda pertandingan dimulai. Ayah dan bunda berdiri, bersorak menyemangati Luna. Luna dan Annisa menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di sini. Semua orang di sekolah ini mengelu-elukannya, memuji-mujinya, menjagokannya, mengandalkannya untuk mengharumkan nama sekolah kami. Smash-smash-nya beruntun. Gerakannya lincah, ke kanan, kiri, maju, mundur, melompat menjangkau shuttlecock dan menjebak shuttlecockAnnisa agar menyentuh net. Perlawanan Annisa tidak kalah sengit, sambil bertahan ia menyerang. Annisa pasti sudah berlatih sangat keras karena Luna terkenal sebagai pemenang berbagai kejuaraan olah raga. 3-1, Luna unggul atas Annisa. Lalu, 6-3, 6-5, 6-7, Luna tertinggal 1 poin. Suara penonton riuh, saling menyemangati jagoan masing-masing. Mata ayah dan bunda tak sedikitpun beralih dari Luna. Tiap kali ia berhasil menambah satu poin, bunda berteriak histeris, dan ayah mengobarkan semangatnya. Luna sangat tenang, dengan percaya diri yang tinggi ia mengejar ketinggalannya.

“Luna..., Luna..., Luna..., Ayo Sang Juara! Ayo Juara Ayah!

Lihatlah, ayah begitu bangga. Ia bahkan memanggilnya Sang Juara! Sementara aku hanya bisa berdiri menonton. Ya, hanya sebagai penonton, bukan pemain, apalagi Sang Juara! Aku menghela nafas, berusaha menenangkan gejolak yang mendesak-desak di hatiku, tertindih rasa iri yang muncul tak terkendali. Setitik air mata jatuh tanpa dapat kutahan. Lekas aku menghapusnya, tak ingin orang lain melihatku menangis. Sebagai saudara yang baik aku harus kelihatan senang dan gembira memberikan semangat pada saudara kembarku yang sedang berjuang demi nama baik sekolah kami.

“Ayo Luna..., Luna..., Luna..., Luna!” teriakku parau.

Skor berubah menjadi 19-9, saat yang mendebarkan. Luna hanya memerlukan dua poin lagi. Annisa tertinggal jauh di belakang. Anak-anak SMADA bersorak, yakin jagoannya akan menang. Lapangan bergemuruh, riuh oleh sorak sorai penonton yang membahana. Di kubu sebelah kanan, supporter SMAMSA menahan nafas, jantung mereka berdebar, khawatir kalau Annisa akan kalah. Namun demikian, mereka masih berharap agar Annisa dapat bertahan dan mengejar ketertinggalannya. Skor berubah lagi, 20-11 untuk Luna. Pertandingan semakin seru, Annisa tak patah semangat. Ia semakin gigih menahan smash demi smash dari Luna sambil berusaha menyerang. Kemudian...

Yes...!”

Luna memekik, mengepalkan tangannya. Babak I berakhir dengan skor 21-12 untuk Luna. Ayah bersorak dan bunda terlihat sangat gembira.

Babak II dimulai. Pastinya pertandingan akan lebih seru. Annisa tentu tidak mau kalah begitu saja oleh Luna. Jika ia menang pada babak ke-2 ini, pertandingan akan berlanjut lagi, tapi jika ia kalah maka sekali lagi SMAMSA harus mengakui keunggulan SMADA di bidang olah raga. Annisa tentu tidak mau ini terjadi, tetapi kami sangat percaya pada kemampuan Luna untuk mempertahankan gelar juara olah raga yang selama ini disandang sekolah kami.

“Luna pasti menang lagi, Len,” kata bunda sambil tersenyum.

“Iya, Bunda. Luna hebat, aku yakin ia akan menang,” jawabku mengiyakan.

Jauh dalam hatiku aku berkhayal seandainya aku yang ada di lapangan itu, seandainya aku yang bertanding melawan Annisa, alangkah bahagianya bila dapat membuat ayah dan bunda bangga. Aku menepis jauh-jauh khayalanku, aku bukan Luna. Tidak mungkin aku menjadi Luna, tangan dan kakiku ini tidak mungkin menjadikanku bintang lapangan seperti Luna dan ayah di masa mudanya. Mau tidak mau kenyataan ini harus kuterima, batinku perih.

Setelah mendapatkan perlawanan all out dari Annisa, akhirnya Luna memenangkan pertandingan dengan skor 21-12, 21-18. Ayah dan bunda memeluknya bangga. Kemudian mereka sibuk menerima ucapan selamat dari para guru. Teman-teman kami bersorak sorai mengelu-elukan Luna. Aku tidak tahu apakah aku harus sedih atau bahagia. Sedih karena aku semakin tidak ada apa-apanya dibanding Luna, bahagia karena saudaraku memenangkan pertandingan ini. Terpaksa aku harus berpura-pura bangga lagi padanya, padahal kesedihan hatiku sulit untuk ditolerir.

“Selamat ya, Lun. Aku sudah tahu kamu pasti menang. Kamu hebat!”

Thanks, Len,” jawabnya singkat kemudian berlari ke podium untuk menerima piala kemenangannya.

Sampai di rumah aku langsung masuk kamar. Kutumpahkan tangis sepuas-puasnya,kutuliskan semua yang kurasakan dalam buku harian. Air mata membasahi kertasnya, hingga tak semua tulisan bisa terbaca. Hanya ini yang bisa kulakukan, menangisi kemalangan diri. Aku bukan orang yang mudah berkeluh kesah pada orang lain, termasuk pada bunda. Aku lebih suka memendam dan merasakan kekecewaan ini sendiri karena semua itu takkan bisa menyembuhkan cacat fisikku. Aku juga tahu ayah dan bunda telah berusaha bersikap adil pada kami berdua. Setiap kali bunda memuji Luna atas prestasi-prestasinya, ia juga memuji kecantikanku, keindahan rambutku, atau enaknya mie rebus buatanku. Ya, ayah dan bunda telah berusaha memberikan hak, kesempatan, pembelaan, dan kasih sayang yang sama pada aku dan Luna. Dan aku tak ingin membuat mereka sedih dengan menceritakan penderitaan yang kurasakan akibat ketidaksempurnaan fisikku ini.

Yang membuatku merasa tak berdaya adalah ayah dan bunda tak mampu melindungiku dari tatapan sebelah mata orang-orang yang melihatku, dari pandangan kasihan teman-teman karena aku hanya bisa menonton Luna bertanding tanpa pernah bisa menjadi pemain, dari keinginan kuat dalam diriku untuk menjadi seperti Luna. Sungguh, aku ingin menjadi kebanggaan orang tuaku.

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur karena tiba-tiba Bunda sudah ada di tepi tempat tidurku. Ia sedang mengelus rambutku. Ketika dilihatnya aku membuka mata, ia segera memelukku. Aku terkejut karena matanya telah basah. Bunda menangis. Rupanya ia membaca buku harianku. Ia juga membereskan kertas-kertas robek yang tadi basah oleh air mataku. Tangisku pecah di pelukan bunda, meledakkan segala rasa sedih, kecewa, dan tak berdaya yang selama ini menggumpal diantara sekat-sekat rongga dadaku.

“Maafkan Bunda, Nak. Bunda bukan ibu yang baik, Bunda tidak merasakan penderitaanmu.”

“Aku baik-baik saja, Bunda. Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku tidak sedih.”

Aku berusaha menenangkannya, tak ingin membuat perempuan yang sangat kucintai ini menangis.

“Lena, dengarkan Bunda. Meskipun kalian dilahirkan kembar, kalian berbeda. Lena dan Luna tidak sama. Kalian memiliki dunia sendiri-sendiri, dan dalam dunia itulah kalian harus menunjukkan eksistensi diri masing-masing. Jadi, jangan pernah berusaha menjadi seperti Luna. Jadilah dirimu sendiri. Allah sayang sama kamu, Nak. Allah menciptakan makhluk-Nya dengan sempurna, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain kecuali iman dan ketakwaannya. Kamu mengerti maksud Bunda, Nak?”

Aku tertunduk, merenungi kata-kata bunda. Benarkah aku juga memiliki kelebihan? Benarkah aku bisa melakukan sesuatu yang dapat membuat ayah dan Bunda bangga?

“Lena, sayang, maukah kamu jadi penulis?”

“Jadi penulis? Maksud Bunda?”

“Maaf, Bunda membaca buku harianmu. Tulisan-tulisanmu bagus, Nak. Kamu mampu mengungkapkan perasaanmu dengan bahasa yang bagus, deskripsi yang nyata, dan narasi yang tidak berbelit-belit sehingga seolah-olah Bunda merasakan apa yang kamu rasakan. Kalau digabungkan dan diolah dengan teknik penulisan yang benar akan menjadi cerita-cerita yang indah. Kamu memiliki bakat menulis yang luar biasa, kamu hanya perlu menggali dan memupuk bakat terpendammu ini. Bunda akan mengajarimu, Bunda tahu cara menulis yang bagus. Ingat, dulu Bunda kuliah di Sastra Inggris. Kamu mau mencobanya, kan?”

Aku mengangguk. Aku sungguh-sungguh merasakan kasih sayang bunda yang begitu besar untukku. Dengan bijak ia mendengarkanku, memelukku, dan membangkitkan semangat hidupku. Ia bercerita tentang novel-novel yang dibacanya, tetang pengarang-pengarang Amerika yang begitu hebat melukiskan sejarah dalam ceritanya, tentang seorang penulis puisi yang hanya terkungkung di dalam rumah besar keluarganya namun berhasil menuliskan puisi-puisi mendunia. Ia juga mengisahkan seorang penulis fiksi ternama yang cacat kaki dan tangannya tetapi berhasil melahirkan karya-karya nyata, tentang Pearl S. Buck dengan novel terkenalnya The Good Earth dan John Steinback yang mengguncang dunia dengan cerita tentang penderitaan orang-orang Oklahoma yang terpaksa bermigrasi ke California karena tekanan ekonomi akibat Revolusi Industri, tentang Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Asma Nadia, Pipiet Senja, Budi Dharma, cerpen-cerpen Irwin Shaw, dan romantisme drama-drama Shakespeare. Sekali lagi bunda menekankanbahwa aku dan Luna memiliki dunia sendiri-sendiri, dan di dunia itulah kami harus menunjukkan eksistensi masing-masing. Bunda juga menegaskan sekali lagi bahwa Allah menciptakan umatnya dengan kelebihannya masing-masing.

Aku merasa ada secercah sinar yang menerangi dunia gelapku, dan kini duniaku telah hidup kembali setelah sekian lama terpuruk dalam ketidakberdayaan. Ayah membelikanku komputer bekas, dan dengan komputer itu aku belajar. Bunda mengajariku bagaimana menulis dengan pola kalimat yang benar, membuat cerita yang menarik, menciptakan konflik dalam cerita, dan mencari data yang akurat untuk tulisan-tulisan opiniku. Tak lelah bunda menemaniku keluar masuk toko buku, perpustakaan, atau ke pusat penjualan buku-buku bekas untuk mencari novel-novel klasik. Bunda juga mendaftarkan aku dalam sebuah kursus menulis online. Dan akupun bergabung dengan milis-milis penulisan, forum-forum diskusi dan aktif memperbarui isi blogku. Dari sini aku punya banyak teman, dan dari merekalah aku mendapatkan komentar-komentar untuk perbaikan tulisanku. Aku semakin bersemangat untuk belajar menulis. Tak pernah seharipun kulewatkan tanpa menulis sebuah cerita atau artikel. Jari-jari tangan kananku semakin lincah memainkan tuts-tuts keyboard, sementara jari tangan kiriku hanya bertugas memencet spasi. Bunda menjadi pembaca pertamaku. Meskipun ia sangat kritis karena terbiasa membaca karya penulis-penulis terkenal, namunkritiknya selalu membuat tulisanku lebih baik.

Akupun memberanikan diri mengirim tulisanku ke media. Mula-mula sebuah koran online di internet, lalu tabloid lokal, majalah anak, dan majalah remaja berbahasa Inggris. Tak kuduga, satu per satu tulisanku dimuat. Meskipun honor yang kudapatkan tidak banyak, namun percaya diriku terangkat naik. Motivasiku semakin kuat. Ayah, bunda, dan Luna mulai bangga padaku. Bunda menunjukkan namaku yang tertulis kecil di pojok kanan bawah cerpenku yang dimuat di majalah Dunia Remaja pada teman-teman arisannya. Istighfarina Helena Laili, Cerpenis, Kediri, demikian ia menyebut namaku dengan bangga.

Tiga minggu yang lalu aku baru saja menyelesaikan Kumcer (Kumpulan Cerpen) pertamaku yang berjudul Kado Terindah Buat Bunda dan mengirimkannya ke Bintang Publishing. Aku berharap Kumcer-kumemenuhi standard publikasi Bintang karena ini adalah persembahan khusus buat bunda. Akhir bulan ini bunda ulang tahun, dan aku ingin publikasi Kumcer-ku menjadi hadiah ultah yang spesial baginya.

“Kriii...iing,” telepon rumah berbunyi.

Aku baru saja hendak mengambilnya, tapi Luna sudah lebih dulu berteriak memanggilku.

“Len, telepon...”

“Ya, dari siapa?”

“Dari Bintang, katanya.”

Aku bergegas. Dari Bintang? Apa penerbit Bintang? Mudah-mudahan kabar baik.

“Halo...”

Hatiku berdebar. Benarkah dari penerbit Bintang?

“Ya, dengan Saudara Istighfarina Helena Laili?”

“Benar. Darimana?”

“Dari Bintang Publishing, kami sudah mereview Kumcer Anda dan Kumcer Anda yang berjudul Kado Terindah Buat Bunda memenuhi standard dan sesuai dengan visi misi publikasi kami. Untuk itu, kami mengundang Anda datang ke kantor kami untuk membicarakan proses lebih lanjut seperti kontrak penerbitan dan sebagainya pada hari Rabu, minggu depan tanggal 9 Juni 2010 jam 9 pagi. Silahkah menemui Bapak Andi, di bagian redaksi cerpen.”

“Oh, iya, terima kasih banyak. Saya akan datang menemui Bapak Andi minggu depan.”

Klik. Aku menutup telepon. Tak terlukiskan betapa gembiranya hatiku. Aku bersyukur ternyata kerja kerasku telah membuahkan hasil. Aku bahagia, Allah telah mendengar do’a-do’aku. Kini mata hatiku telah terbuka, kalau Dia Yang Maha Kuasa tidak pernah membeda-bedakan makhluknya. Ternyata aku juga bisa membuat orang tuaku bangga, seperti yang dilakukan Luna selama ini. Akan ada kelebihan di balik kelemahan. Akan ada kebahagiaan di balik kesusahan dan penderitaan. Akan ada kesempurnaan di balik kecacatan. Sejenak aku merenung, menyesal telah terlarut dalam kesedihan tanpa guna. Begitu bodohnya aku karena membiarkan diriku terpuruk dalam perasaan tidak berdaya karena ketidaksempurnaan fisikku. Tak ingin membuang-buang waktu aku menemui Bunda di dapur, bermaksud mengabarkan berita gembira ini.

“Bunda, aku ditelepon penerbit Bintang. Kumcerku akan dipublikasikan,” kataku sambil memeluknya dari belakang.

“Oh, ya? Alhamdulillah, benar kan kata Bunda. Kamu pasti bisa. Kamu akan jadi penulis terkenal, kamu anak Bunda yang hebat!”

“Terima kasih, Bunda. Ini semua karena Bunda, karena Bunda tak lelah menyemangati dan mengajari aku.”

“Bunda senang melakukannya untukmu, Nak.”

Kupegang tangannya, kutatap matanya dalam-dalam. Dari pancaran sinar matanya, kutemukan sebuah telaga yang begitu teduh yang di dalamnya mengalir air cinta dan kasih sayang. Aku yakin cinta dan kasih sayang itu takkan pernah habis untukku, untuk anaknya yang dulu merasa tak tak berdaya. Sekali lagi kupeluk perempuan yang melahirkanku ini erat-erat. Kurasakan pipinya menghangat, kemudian setetes air jatuh dari matanya. Aku tahu, kali ini tetes air itu adalah air mata bahagia, air mata kebanggaannya padaku. Kembali aku bersyukur pada Allah karena telah menganugerahiku perempuan yang begitu baik ini sebagai ibuku.

Oleh: Heni Kurniawati

Penulis novel Menggapai Impian, Merengkuh Cinta (MIMC)

FB: Heni Kurniawati

FB: Bening Koleksi

Email: novelmimc@gmail.com


www.novelmimc.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun