Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ekonomika Urban Farming dalam Ketahanan Pangan Masyarakat di Perkotaan

23 Juni 2020   08:43 Diperbarui: 23 Juni 2020   18:47 1172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Naufal  Mohamad Firdausyan (Ilmu Ekonomi 2019), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA UGM

dokpri
dokpri

Skema Urban Farming dalam Ekonomika Perkotaan

Data produksi dan konsumsi pangan membawa satu konstruksi bahwa dalam jangka panjang belum ada jaminan atas ketahanan pangan, khususnya bagi wilayah urban. Pertumbuhan produksi memang masih di atas pertumbuhan konsumsi. Namun, konversi lahan menjadi “kerikil” yang menghambat keberlanjutan produksinya. Skema urban farming pada akhirnya membawa inovasi terhadap keberlanjutan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di wilayah perkotaan. Urbes Project (2014) dalam hal ini mendefinisikan konsep urban farming (mereka menyebutnya sebagai urban agriculture) secara gamblang sebagai sebuah skema ketahanan pangan bagi masyarakat perkotaan.

Put simply, urban agriculture is the practice of cultivating food in an urban environment. In an ideal situation, urban agriculture represents a system in which environmentally sustainable cultivation practices, the local economy, and relationships between people intersect, creating a thriving local food system, strong communities and ensuring greater access to healthy, seasonal and local food and ecosystem services while at the same time increasing urban food security.

Mengapa skema ini membawa pada ketahanan pangan di perkotaan? Urban farming memungkinkan setiap masyarakat kota untuk menanam tanaman sumber pangan secara mandiri di lingkungan kota, kaitannya menjaga ketersediaan bahan pangan—skema ini dapat dilihat sebagai barang komplementer terhadap produksi pangan di wilayah rural. Ketika distribusi pangan dari wilayah rural terhambat penyalurannya, hasil produksi urban farming dapat dianggap sebagai barang pengganti sementara untuk menjaga keberlanjutan konsumsi rumah tangga. Kondisi ini akhirnya mengarah pada ketahanan pangan bagi masyarakat kota secara kolektif. 

Sebutan jaring pengaman sosial dapat disematkan terhadap skema urban farming.  Jaring pengaman sosial dalam hal ini merupakan program untuk mengamankan rumah tangga, khususnya yang miskin, dari dampak guncangan pasar pangan. Secara khusus, skema ini dapat memungkinkan realokasi pendapatan masyarakat miskin ke pengeluaran sektor lainnya selain pangan, merujuk bahwa sekitar 80% pengeluaran masyarakat miskin adalah untuk kebutuhan pangan (Ngoga dan Delbridge 2020). Surplus konsumen pun dapat lebih banyak dinikmati dan berkelanjutan untuk dialokasikan meningkatkan kualitas hidup rumah tangga.

Urban farming yang demikian juga menimbulkan eksternalitas positif bagi aktivitas ekonomi di perkotaan. Selain pada aspek ketahanan pangan, EcoDesign Resource Society (2013) menyebut bahwa aktivitas ini membawa pada inovasi dan green jobs, pengurangan limbah, revitalisasi urban, hingga pengembangan pendidikan dan komunitas. Lebih lanjut, disebutkan bahwa efek ini juga membawa pada resiliensi komunitas perkotaan.  Kaitannya terhadap ketahanan pangan, urban farming turut berkontribusi terhadap pemenuhan nutrisi masyarakat dan kesehatan (Orsini dkk. 2014). Hal menarik juga ditemukan pada penelitian yang sama bahwa urban farming berdampak  pada inklusi sosial dan kesetaraan gender, mengingat 65% urban farmers berjenis kelamin wanita.

Alasan penyebab urban farming diperlukan membawa perspektif baru terkait menjaga ketahanan pangan di perkotaan. Namun, ada satu komponen yang perlu menjadi perhatian. Biaya-biaya yang dikeluarkan petani urban akan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan petani rural, khususnya pada teknologi yang digunakan (Singer dan Brumfield 2017). Mayoritas pengeluaran ini berkaitan pada kestabilan pembiayaan, skala ekonomis, dan pemodalan yang cukup tinggi. Di tengah struktur pendapatan masyarakat perkotaan yang beragam, ada kecenderungan bahwa skema ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berpendapatan menengah dan atas. Diskursus baru pun muncul; apakah urban farming perlu dijadikan sebagai barang publik untuk menimbulkan inklusivitas?

Beberapa Catatan untuk Kebijakan

Ada beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan, khususnya berkaitan dengan caramenjaga ketahanan pangan di perkotaan. Pertama, dalam mengatasi kondisi shock pada pasar pangan, pemerintah lokal di wilayah perkotaan perlu menetapkan arah kebijakan pemenuhan kebutuhan pangan dalam jangka panjang. Arus distribusi pangan yang sewaktu-waktu bisa terputus perlu diantisipasi dalam sebuah skema baru yang dapat diusahakan oleh masyarakat kota, termasuk salah satunya adalah urban farming ini—sebuah rencana kontingensi terhadap risiko arus distribusi. Sekali lagi, hal ini menjadi alternatif jaring pengaman bagi masyarakat urban ketika terjadi guncangan dalam pasar.

Kedua, konsekuensi dari penerapan rancangan urban farming sebagai skema ketahanan pangan adalah peningkatan inklusivitas dan aksesibilitas setiap masyarakat perkotaan untuk menerapkan urban farming. Biaya yang cukup tinggi membuat urban farming tidak dapat diterapkan oleh semua masyarakat perkotaan. Sebagai pihak yang berwenang, pemerintah lokal di wilayah urban perlu memberikan subsidi bagi pelaku urban farming yang belum dapat mengakses sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan skema ini. Sejalan dengan Adato dkk. (2020), rekomendasi subsidi ini pun dapat diklasifikasikan sebagai sebuah jaring pengaman sosial, khususnya subsidi terhadap input yang digunakan dalam urban farming (pemberian bantuan pupuk, bibit, atau media tanam). Kebijakan subsidi diharapkan mampu memperluas inklusivitas skema ini di saat biaya yang diperlukan cenderung tinggi untuk produksi.

Sullivan (2012) menyebutkan bahwa inovasi dalam pertanian adalah salah satu kondisi untuk terjadinya pembangunan di wilayah kota. Dengan demikian, inovasi urban farming ini mencoba menjadi jawaban atas keberlanjutan produksi pangan (khususnya untuk ketahanan pangan) bagi kawasan urban.  Merefleksikan kembali abstraksi teori Malthus tentang Malthusian Catastrophe; apakah kondisi ini akan benar-benar terjadi? Nampaknya, Malthus melupakan satu hal, yaitu aspek kemajuan teknologi yang sebenarnya memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan penduduk dan produksi pangan (Todaro 2011). Sedikit demi sedikit, skema urban farming membawa alternatif pada kestabilan ketahanan pangan bagi masyarakat secara umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun