Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Millennials: Generation of Streaming Media

24 April 2020   13:55 Diperbarui: 25 April 2020   13:37 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Nicolas Gea (Ilmu Ekonomi 2019), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM

Milenial”, sebuah terminologi yang sudah sering bersliweran di telinga hingga menjadi headline sebuah berita. Milenial merupakan kelompok demografi yang lahir pada rentang awal tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Meskipun demikian, sampai sekarang, batas kelahiran dari seseorang hingga bisa disebut milenial masihlah abu-abu. Salah satu yang membedakan milenial dengan generasi lain seperti generasi X maupun babyboomer adalah kebiasaan mereka dalam menggunakan uang.

 Menurut laporan Charles Schwab pada tahun 2017, generasi milenial lebih tertarik menggunakan uang mereka untuk membeli kenyamanan dan kemudahan. Lebih dari itu, generasi milenial lebih tertarik dengan kebebasan dalam mengeksplorasi layanan maupun produk sesuai dengan keinginan mereka.Goldman Sachs (2015), dalam infografik mereka mengenai pola hidup milenial, menyebutkan bahwa milenial lebih tertarik pada akses bukan kepemilikan. Sebagai contoh, pada tahun 2016, CNBC Amerika Serikat merilis berita mengenai tingkat kepemilikan rumah di Amerika Serikat turun sebesar 62,9%. Angka ini menjadi titik terendah sejak tahun 1965. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi milenial yang cenderung menunda pembelian “besar” dan lebih memilih untuk menyewa. Lebih dari itu, ketertarikan milenial untuk menikmati akses yang bebas ternyata juga merambah pada dunia hiburan yang sekarang lebih dikenal sebagai streaming media.  

Kebiasaan milenial ini menyebabkan perusahaan yang menyediakan layanan streaming menggunakan subscription model dalam menjalankan bisnis mereka. Netflix dan Spotify, misalnya. Perusahaan tersebut tidak menggunakan model  fix subscription atau langganan tetap, dimana konsumen membayarkan uang untuk seperangkat layanan atau produk yang tetap. Akan tetapi, konsumen diberikan kebebasan yang sangat luas untuk mengeksplorasi produk atau layanan yang tersedia. Tentu layanan tersebut menjadi alternatif yang sangat cocok dengan gaya hidup milenial. 

Berdasarkan data yang dirilis Statista pada tahun 2017, pengguna Spotify di Amerika Serikat didominasi oleh milenial dengan 29% pengguna berusia 25-34 tahun dan 26% pengguna berusia 18-24 tahun. Netflix juga menunjukkan data penggunaan yang hampir serupa, sebanyak 24% pengguna berusia 18-24 tahun dan 25% berusia 25-34 tahun. Angka-angka tersebut tentulah tidak kecil. Data dari kedua platform itu menjadi gambaran bahwa sebagian besar dari pengguna layanan mereka berasal dari generasi milenial.

 What Millennials Might Think

Pola kecenderungan milenial dalam mengkonsumsi suatu hal, khususnya streaming media tentu tidak terjadi begitu saja tanpa alasan. Dalam ekonomi, fenomena pola konsumsi milenial ini tidak lepas dari konsep Behavioral Economics. Paham Behavioral Economics ini sering dijadikan dasar argumen yang menentang paham ekonomi neo-klasik yang melihat manusia sebagai homo economicus yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang mepertimbangkan utilitas maksimum dalam mengambil keputusan. Behavioral Economics ini merupakan sebuah gabungan dari teori psikologi dan ekonomi yang menekankan bahwa manusia tidak selalu rasional dalam mengambil sebuah keputusan. Hal ini disebabkan karena dalam mengambil keputusan, manusia tidak lepas dari aspek sosial, psikologi bahkan emosi. 

Pada dasarnya, konsep ini sudah disinggung oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul The Theory of Moral Sentiments, Smith berpendapat jika moralitas berpengaruh dalam pengambilan keputusan manusia. Tidak hanya itu, Smith juga berpendapat jika pada dasarnya kebiasaan manusia itu terbentuk dari hasrat dari dalam diri sendiri dan dari perspektif orang lain (Ashraf et al., 2005). Paham bahwa aspek psikologis berpengaruh dalam pengambilan keputusan mulai lebih dikenal setelah Tversky dan Kahneman mempublikasikan risetnya yang berjudul Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk. Tversky dan Kahneman menyatakan bahwa dalam menentukan pilihan yang tidak beresiko dan tidak pasti, seseorang lebih cenderung memilih sesuatu berdasarkan utilitas terbaik menurut mereka dibanding pada hasil akhir (Samson, 2014). Penelitian Tversky dan Kahneman ini menjadi titik baru dalam ekonomi modern, riset ini menjadi awal dari ditemukannya beberapa konsep yang bisa digunakan untuk menilik alasan mengapa milenial tertarik untuk berlangganan media streaming.

 

The Pain of Losing Is More Painful than The Pleasure of Earning

 Pada saat memutuskan untuk membayar layanan, tentu seseorang akan melakukan pertimbangan. Hal ini juga berlaku bagi milenial ketika memutuskan untuk berlangganan media streaming seperti Netflix atau Spotify. Sebagai gambaran, biaya berlangganan Spotify di Indonesia mulai dari Rp49.990,00 sedangkan harga dari satu album fisik yang dijual di pasaran bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Hal yang serupa juga ada pada Netflix. Biaya berlangganan Netflix di Indonesia memiliki rentang antara Rp49.000,00 hingga Rp169.000,00.  Sedangkan harga dari film dalam format DVD fisik biasanya harganya juga mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah. Dengan demikian, kebanyakan harga dari film atau lagu yang dijual secara fisik cenderung lebih mahal dibanding dengan biaya untuk berlangganan media streaming. Tidak menutup kemungkinan jika hal ini menimbulkan bias dan menyebabkan milenial mulai beralih ke media streaming untuk menikmati hiburan. 

Bias yang dialami oleh milenial untuk tidak membeli sesuatu yang memiliki harga yang lebih mahal disebut sebagai Loss Aversion. Loss Aversion merupakan kecenderungan orang untuk menghindari sebuah kerugian. Sebagai contoh, ada dua orang yang sama-sama diberi uang oleh seseorang dermawan. Orang pertama mendapat 10 roti dan orang kedua diberi 15 roti. Akan tetapi, ada suatu kejadian yang menyebabkan lima roti dari orang kedua jatuh dan tidak bisa dikonsumsi lagi. Dengan demikian kedua orang tersebut memiliki jumlah roti yang sama. Secara rasional, seharusnya kedua orang tersebut memiliki rasa senang yang sama karena sama-sama memiliki jumlah roti yang sama yaitu 10. Akan tetapi, orang pertama merasa lebih senang dibanding orang kedua karena orang pertama tidak merasakan kehilangan sejumlah roti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun