Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Usaha Kreatif Gagal dan Pendekatan Baru Mengatasinya

24 Mei 2017   13:25 Diperbarui: 24 Mei 2017   18:21 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Antara Foto

Kecuali anda Professor Xavier yang bisa membaca pikiran orang, kita tak boleh memulai sebuah produk baru lewat kesimpulan. Spekulasi selalu jadi bagian terpenting dalam bisnis. Namun kita tidak sedang berada di atas meja poker --- setidaknya tidak sedang mempertaruhkan semua uang hanya karena punya 2 kartu queen. Semestinya, spekulasi itu harus merupakan hipotesis dari sebuah pertanyaan yang lebih dulu kita ajukan kepada diri sendiri. Dari hipotesis itulah kita kemudian beranjak kepada eksperimen untuk menguji hipotesis tersebut. Hasilnya bisa salah dan bisa benar --- namanya juga eksperimen, mana ada yang langsung berhasil. 

Tapi kita kan tidak memulai dengan pertanyaan, lalu bagaimana ceritanya kita bisa punya hipotesis?
Kita menganggap diri kita langsung doing business, lalu bagaimana bisa memperlakukannya sebagai sebuah eksperimen?
Karena kita tidak menganggap sedang melakukan eksperimen, bagaimana kita bisa memberi ruang kegagalan bagi diri sendiri?

Semestinya kawan saya tidak melihat Rp 10 juta tadi sebagai modal usaha atau 'modal bertaruh', tapi sebagai modal belajar dan modal eksperimen untuk menciptakan dan menemukan produk kreatif yang terbukti berhasil di pasar.

Logika-logika untuk memulai bisnis dengan cara seperti ini saja sudah ganjil, kan? Pendapat umum adalah: anda punya modal, bikin produk, lempar ke pasar, lalu berdoa. Tak ada yang mau memberi kita uang modal usaha untuk belajar, bereksperimen dan gagal. Namun kenyataannya, dana ribuan triliun dolar yang berputar di dunia ini untuk startup adalah dana untuk membiayai pembelajaran, eksperimen, dan menemukan kegagalan.

Jake Knapp, pengelola investasi di Google Venture punya pendapat yang tegas: laba terbesar dari investasi adalah kegagalan.

Mengapa? Karena anda bukan anak ajaib, sehingga mustahil anda menemukan satu produk perdana yang langsung sukses. Anda harus menemukan yang salah dulu sebelum menemukan yang benar. Ketika yang benar sudah ditemukan, tinggal anda merepetisi dan mengembangkannya secara bertahap. Yang kita lihat dari produk-produk superior saat ini adalah hasil ciptaan yang mesti melewati akumulasi kegagalan yang tak tampak (atau bahkan pernah tampak). Namun karena kita bukan perusahaan otomotif yang punya uang miliaran dolar, kita perlu metode khusus agar dana yang terbatas bisa digunakan untuk menemukan produk yang tepat.

Penting bagi kawan saya tadi untuk bertanya lebih dulu kepada dirinya sendiri:

  • Apakah produk suvenir khas Balikpapan itu sesuatu yang harus ada?
  • Apakah masalah di pasar yang saya pecahkan lewat produk saya ini?
  • Apa tujuan jangka panjang bisnis saya ini?
  • Bagaimana saya memastikan bisnis ini memiliki daya tahan panjang dan berkesinambungan?

Ia harus bisa meloloskan diri dari 4 pertanyaan ini dulu. Jawabannya bukan kesimpulan, tapi hipotesis yang mesti diuji melewati serangkaian eksperimen, bukan pertaruhan.

2. COSTUMER CENTRIC
Setiap pedagang harus punya satu obsesi, yakni obsesi pada pelanggannya. Doktrin ini merupakan hukum besi dalam bisnis. Tapi sangat tidak mudah melakukannya. Pencipta seringkali merasa superior atau paling tahu. Bila kelak produk kreatifnya gagal, dengan mudah mereka menyalahkan konsumen yang dianggap bodoh atau kompetitor yang jahat. Atau menyalahkan Jokowi.

Di sisi lain, menebak selera pasar bukan sesuatu yang mudah. Tapi sangat mungkin dilakukan. Namun tak mungkin kita bisa menebak selera pasar dan mengujinya bila di awal kita sudah merasa punya jawaban yang benar dan pelanggan harus ikut dengan jawaban kita itu. Jadi, lagi-lagi kita harus beranjak ke pertanyaan selanjutnya: apakah produk yang saya ciptakan ini sesuai dengan keinginan konsumen?

Maka kita mesti membuat hipotesis lagi dan mengujinya.  Kali ini dalam bentuk desain, resep, atau prototype (purwarupa). Mengeksperimenkannya harus langsung berhadapan dengan calon konsumen dan melihat apa reaksinya. Reaksi konsumen itulah yang kita cari, dan itulah kebenaran pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun