Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mata Uang Baru Itu Bernama Data

18 November 2015   14:00 Diperbarui: 25 Desember 2015   11:10 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai orang yang sering berpergian, saya selalu gunakan aplikasi pemesanan tiket pesawat dan hotel. Sumpah, ini bukan iklan, tapi namanya Traveloka. Saya pernah protes kepada pengelola hotel yang rajin saya inapi mengapa ia tak bisa memberi saya harga semurah Traveloka kalau saya go show (datang langsung). Ia jawab, harga kamar yang ia berikan ke Traveloka sama dengan harga kamar bila saya go show. Kalau harga Traveloka lebih murah, itu karena disubsidi atau ditomboki oleh Traveloka.

Lha, jualan kok nombok?

Kalau mau yang lebih aneh lagi, lihat Gojek. Mereka kabarnya telah mendapatkan investasi sedikitnya Rp200 miliar Sequoia Capital di pertengahan tahun tadi. Ada juga yang menyebut Rp600 miliar. Sampai sekarang Gojek masih rugi, terutama karena bonus referral. Kerugian keuangan Gojek ini dikonfirmasi oleh Nadiem Makarim, CEO Gojek. Dalam sebuah pertemuan pada Oktober lalu, Nadiem mengatakan, "Kami memang belum untung. Kalau kami untung justru kami dimarahi investor."

Investor kok tidak mau untung? Tidak masuk akal, kan?

Kalau mau yang lebih tidak masuk akal lagi, lihatlah Whatsapp. Messanger ini tidak menampilkan iklan, pun gratis tahun pertama. Biaya berlangganan di tahun berikutnya hanya $1/tahun. Itu pun bisa 'diakali' supaya gratis terus. Tapi tahun lalu Facebook membeli Whatsapp Rp222 triliun! Secara keuangan, perusahaan ini tidak pernah untung, tidak beriklan, tapi dibeli ratusan triliun.

Bisnis konvensional sulit memahami ini. Selama ini performace bisnis hanya diukur lewat angka di buku keuangan perusahaan. Kalau duitnya minus, berarti jelek. Namun dalam bisnis digital, data adalah mata uang baru. Pintu masuknya melalui jumlah user. Kalau kita sudah mendapatkan user, datanya akan siap untuk dikapitalisasi untuk apapun. Iklan hanya salah satunya. Artinya, kalau sudah punya banyak user, terserah mau kita manfaatkan untuk apapun agar menghasilkan uang. Jadi, dalam bisnis digital modal dalam bentuk uang lebih sebagai tool atau perangkat untuk mencapai target yang sebenarnya: user dan data.

Dalam startup (perusahaan rintisan) digital, hal seperti ini biasa disebut membakar uang demi mendapat user. Bukan hanya membakar lewat pemberian subsidi harga, tapi juga periklanan. Dengan investasi Rp1,2 triliun, Tokopedia bisa menempatkan iklannya di berbagai billboard Ibukota. Dengan modal Rp6,5 triliun, Mataharimall sanggup memberi diskon barang sampai 99%.

Dengan jumlah user yang banyak, valuasi atau nilai produk atau perusahaan digital otomatis akan naik. Whatsapp dengan 1 miliar pengguna dan 450 juta pengguna rutin bulanan, ketika baru dirilis tahun 2009 oleh Ian Koum hanya bermodal investasi $250 (iya, hanya $250). Dua tahun kemudian, Sequoia Capital menyuntik dana $80 juta. 2013, Sequoia menambah lagi investasi $50 juta ke Whatsapp. Sampai 2014 ia dibeli Facebook $19 miliar. Bayangkan betapa tajirnya pemilik saham Whatsapp seperti Koum dan Sequoia. Facebook 'membeli' setiap user Whatsapp seharga $42/user.

Bulan lalu saya bertemu dengan COO Kompasiana, Pepih Nugraha, di Jakarta. Beliau bertanya, "Kalau menurut hitungan Mas Hilman, berapa nilai Kompasiana?"

Anda akan terkejut dengan jawabannya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun