Di tengah ekonomi yang sedang naik-turun, harga sembako yang bikin jantung deg-degan tiap belanja, dan daya beli masyarakat yang mulai hati-hati, muncul satu fenomena baru yang rasanya makin tidak masuk akal, makanan dan jajanan overprice yang dibeli dengan bangga, hanya karena dibuat oleh seleb TikTok atau influencer.
Bukan sekali dua kali, banyak makanan kekinian dijual dengan harga tak masuk akal, sekotak kecil kue dijual setara harga makan satu keluarga kecil, kopi botolan dengan harga dua kali lipat dari brand besar, atau camilan biasa yang diberi label "premium" dan mendadak harganya melonjak.
Lalu, ketika ada yang mengkritik, pembelaan muncul seperti mantra, "Mungkin kamu bukan target pasarnya" atau "Itu bahan bakunya premium."
Benarkah begitu? Atau sebenarnya kita semua sedang tertipu packaging, branding, dan popularitas digital?.
Label 'Premium' Tidak Selalu Berarti Layak Mahal
Berapa kali kita melihat camilan yang secara tampilan dan rasa tidak jauh beda dari jajanan UMKM, tapi dijual dengan harga 5 kali lipat lebih mahal? Bedanya hanya ada pada box berwarna pastel, font aesthetic, dan video iklan yang dibuat dengan gaya sinematik. Lalu muncul label 'premium', seolah semua kemewahan itu berasal dari bahan baku yang luar biasa.
Padahal, ketika dicermati lebih dalam, mayoritas jajanan influencer atau seleb TikTok ini dibuat dengan metode produksi biasa saja. Kue dari bahan tepung, mentega, dan cokelat yang bisa kita temui di toko bahan kue biasa. Proses memasaknya pun, tidak sedikit yang dikerjakan oleh kitchen ghost (dapur vendor) dan bukan oleh sang seleb itu sendiri.
Label 'premium' seringkali jadi pembenaran agar harga bisa dimark-up gila-gilaan. Padahal, kualitas sebenarnya tidak jauh berbeda dari kue rumahan buatan tetangga.
Tetapi karena ditawarkan dengan visual yang estetik dan embel-embel influencer, tiba-tiba jadi "layak" dihargai tinggi. Sayangnya, banyak yang tertipu dan berpikir itu normal.
Budaya FOMO Membunuh Kepekaan Konsumen
Takut dibilang kudet. Takut nggak ikut tren. Takut dibilang miskin. Itulah racun dari FOMO (Fear of Missing Out) yang semakin hari makin menggila. Banyak orang membeli produk overprice bukan karena butuh, bukan karena enak, tapi karena ingin terlihat update di media sosial.
Fenomena ini yang membuat jajanan biasa bisa jadi viral hanya karena dibeli dan di-review oleh akun besar. Begitu banyak yang beli hanya karena ikut-ikutan, bukan karena kualitas produknya benar-benar luar biasa. Padahal, setelah coba, banyak yang akhirnya sadar: "Loh, cuma gini doang?".
Namun, terlambat. Uangnya sudah terbuang. Dan lebih parahnya lagi, siklus ini terus berulang. Sebulan sekali muncul produk baru dari influencer berbeda dengan harga fantastis dan kualitas yang medioker. Lalu viral, lalu dibeli, lalu kecewa lagi.
Kalau terus seperti ini, kita bukan sedang mendukung UMKM atau pelaku usaha makanan, kita sedang jadi korban marketing yang licin. Yang untung hanya si seleb. Yang rugi, ya kita sendiri.
Banyak UMKM Lebih Layak Didukung
Di jalanan, ada bapak tua yang berjualan tahu isi dengan harga 2 ribu. Ada ibu-ibu yang keliling jualan kue basah seharga 1.500 rupiah. Di gang sebelah rumah, ada tetangga yang bikin bento anak-anak dari bahan segar dan sehat, dijual dengan harga sangat terjangkau. Tapi mereka seringkali luput dari perhatian kita. Tidak aesthetic. Tidak viral. Tidak punya filter Instagram.
Padahal, kualitas makanan mereka jauh lebih jujur, lebih sehat, dan lebih layak untuk didukung. Keuntungan mereka benar-benar untuk menyambung hidup. Bukan untuk menambah follower, bukan untuk menambah aset digital.
Ironis, bukan? Kita rela membayar 75 ribu untuk satu slice kue dari selebgram yang sebenarnya tidak kita kenal, tapi menawar nasi kuning buatan tetangga hanya karena "kemahalan sepuluh ribu". Kita mulai kehilangan empati dan kepekaan sosial, hanya karena terlalu sibuk mengejar tren.
Mulailah membuka mata dan menilai makanan bukan dari siapa yang jualan, tapi dari niat, kualitas, dan nilai sosialnya.
Branding Bukan Alasan untuk Menaikkan Harga Tanpa Logika
Memang, branding penting dalam bisnis. Tapi branding tidak seharusnya dijadikan tameng untuk menipu konsumen. Jika memang produk yang dijual mahal itu benar-benar unik, proses pembuatannya kompleks, bahan bakunya langka dan berkualitas tinggi, maka harganya bisa dimaklumi.
Jika hanya karena wajah sang pemilik dikenal di TikTok dan packaging-nya pakai warna sage green, lalu harga langsung naik drastis? Itu namanya akal-akalan.
Masalahnya, banyak dari kita terlalu gampang percaya. Terlalu mudah terpesona dengan packaging dan gaya promosi. Kita sering melupakan hak kita sebagai konsumen, untuk bertanya, menilai, dan memilih dengan bijak. Tidak semua yang viral itu worth it. Dan tidak semua yang tidak viral itu murahan.
Membeli dengan bijak adalah bentuk perlawanan paling elegan terhadap marketing yang manipulatif. Kita tidak anti branding, tapi tolong... pakai akal sehat.
Harga Tidak Menentukan Kualitas, Apalagi Selera
Kadang kita jadi malu sendiri ketika membandingkan jajanan influencer yang overprice dengan gorengan ibu-ibu dekat pos ronda. Ternyata gorengannya lebih enak. Tapi kita enggan mengakuinya karena malu. "Masa iya gue bilang pastel dua ribuan lebih enak dari pie selebgram?"
Masyarakat perlu sadar, harga tinggi tidak otomatis berarti lebih enak. Branding tidak otomatis menjamin kualitas. Dan tren tidak seharusnya menekan selera pribadi. Selera itu soal pengalaman, kejujuran rasa, dan kenyamanan. Bukan soal siapa yang punya usaha atau berapa follower-nya.
Sudah waktunya kita berhenti membeli karena ingin terlihat keren. Mulailah membeli karena memang suka, memang perlu, dan memang layak. Jangan terus membayar ego orang lain dengan uang kita sendiri.
Tidak semua makanan mahal itu buruk, dan tidak semua makanan murah itu baik. Tapi jika kita terus menormalisasi harga-harga yang tidak masuk akal hanya karena faktor popularitas dan estetika, maka kita sedang menciptakan budaya konsumtif yang tidak bijak. Apalagi di tengah ekonomi seperti sekarang, di mana banyak orang berjuang keras hanya untuk bisa makan sehari tiga kali.
Jangan terus menerus terjebak tren. Jangan merasa harus selalu ikut-ikutan. Belilah karena sadar, bukan karena panik ketinggalan. Mari kembali waras dalam memilih, terutama ketika itu menyangkut makanan yang sebenarnya bisa kita temukan versinya yang jauh lebih jujur, lebih terjangkau, dan lebih layak didukung.
Dan satu lagi, jangan mau jadi target pasar yang dibodohi hanya karena takut dibilang "kaum mendang-mending." Mending waras daripada keren tapi kejebak jebakan batman harga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI