Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Setop Menormalisasi Jajanan Overprice, Hanya Karena Owner Influencer Terkenal!

23 Juli 2025   18:45 Diperbarui: 24 Juli 2025   11:42 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto Jajanan & Sumber: Pexel/Ruie Botron)

Takut dibilang kudet. Takut nggak ikut tren. Takut dibilang miskin. Itulah racun dari FOMO (Fear of Missing Out) yang semakin hari makin menggila. Banyak orang membeli produk overprice bukan karena butuh, bukan karena enak, tapi karena ingin terlihat update di media sosial.

Fenomena ini yang membuat jajanan biasa bisa jadi viral hanya karena dibeli dan di-review oleh akun besar. Begitu banyak yang beli hanya karena ikut-ikutan, bukan karena kualitas produknya benar-benar luar biasa. Padahal, setelah coba, banyak yang akhirnya sadar: "Loh, cuma gini doang?".

Namun, terlambat. Uangnya sudah terbuang. Dan lebih parahnya lagi, siklus ini terus berulang. Sebulan sekali muncul produk baru dari influencer berbeda dengan harga fantastis dan kualitas yang medioker. Lalu viral, lalu dibeli, lalu kecewa lagi.

Kalau terus seperti ini, kita bukan sedang mendukung UMKM atau pelaku usaha makanan, kita sedang jadi korban marketing yang licin. Yang untung hanya si seleb. Yang rugi, ya kita sendiri.

Banyak UMKM Lebih Layak Didukung

Di jalanan, ada bapak tua yang berjualan tahu isi dengan harga 2 ribu. Ada ibu-ibu yang keliling jualan kue basah seharga 1.500 rupiah. Di gang sebelah rumah, ada tetangga yang bikin bento anak-anak dari bahan segar dan sehat, dijual dengan harga sangat terjangkau. Tapi mereka seringkali luput dari perhatian kita. Tidak aesthetic. Tidak viral. Tidak punya filter Instagram.

Padahal, kualitas makanan mereka jauh lebih jujur, lebih sehat, dan lebih layak untuk didukung. Keuntungan mereka benar-benar untuk menyambung hidup. Bukan untuk menambah follower, bukan untuk menambah aset digital.

Ironis, bukan? Kita rela membayar 75 ribu untuk satu slice kue dari selebgram yang sebenarnya tidak kita kenal, tapi menawar nasi kuning buatan tetangga hanya karena "kemahalan sepuluh ribu". Kita mulai kehilangan empati dan kepekaan sosial, hanya karena terlalu sibuk mengejar tren.

Mulailah membuka mata dan menilai makanan bukan dari siapa yang jualan, tapi dari niat, kualitas, dan nilai sosialnya.

Branding Bukan Alasan untuk Menaikkan Harga Tanpa Logika

Memang, branding penting dalam bisnis. Tapi branding tidak seharusnya dijadikan tameng untuk menipu konsumen. Jika memang produk yang dijual mahal itu benar-benar unik, proses pembuatannya kompleks, bahan bakunya langka dan berkualitas tinggi, maka harganya bisa dimaklumi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun