Korban Pemerkosaan Bukan Aib!
Setiap kali kita membuka berita tentang kasus pemerkosaan, ada satu pola yang terus berulang, wajah korban terpampang jelas, identitas disinggung tanpa sensor, dan narasi berita penuh insinuasi menyalahkan. Lalu pelaku? Diberi sensor, kadang disebut hanya dengan inisial, dan tak jarang malah diberi ruang pembelaan. Kita harus bertanya, media macam apa yang lebih khawatir melindungi wajah pemerkosa daripada marwah seorang korban?.
Pemerkosaan adalah kejahatan, dan korban adalah korban. Tapi di negeri ini, korban diperlakukan seolah pembawa aib keluarga, penyebab rusaknya moral masyarakat, dan ancaman bagi citra lembaga yang menaunginya. Stop! Sudah saatnya kita membalik cermin, biarkan pelaku yang merasakan malu dan tekanan sosial, bukan korban yang justru butuh dukungan dan pemulihan.
Wajah Korban Bukan Konsumsi Publik, Tutup! Bukan Dibuka
Ketika seorang perempuan atau laki-laki menjadi korban pemerkosaan, yang seharusnya dilakukan media adalah menyamarkan identitas korban. Bukan malah menjadikan wajahnya thumbnail untuk mendapatkan klik, views, dan rating. Praktik ini bukan hanya tak etis, tapi kejam. Apakah kamera Anda tidak melihat air mata di mata korban? Atau memang simpati sudah tidak laku di dunia jurnalisme?.
Sementara wajah pelaku disensor, korban justru diseret ke ruang publik seakan-akan dialah yang layak dipermalukan. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi kegagalan moral. Jurnalisme sejatinya menyuarakan kebenaran, bukan memajang luka untuk jadi tontonan murahan. Alih-alih menjadi suara korban, media seringkali justru memperpanjang trauma mereka.
Media harus bertanggung jawab. Bukan hanya karena kode etik jurnalistik, tapi karena kemanusiaan. Jika Anda lebih sibuk menjaga privasi pelaku ketimbang harga diri korban, maka Anda bukan jurnalis. Anda cuma penjual tragedi.
Sanksi Sosial Itu Penting. Untuk Pelaku, Bukan Korban!
Ada alasan mengapa pelaku kejahatan harus dikenali publik. Ini bukan sekadar pembalasan, tapi bentuk perlindungan sosial. Ketika wajah dan identitas pelaku disembunyikan, masyarakat kehilangan informasi penting yang seharusnya bisa mencegah kejadian serupa. Bayangkan jika pelaku masih bebas berkeliaran tanpa masyarakat tahu siapa dia.
Kita telah terlalu lama memperlakukan pelaku sebagai "tersangka yang punya masa depan," sementara korban dipandang "wanita rusak yang harus menanggung malu seumur hidup." Tolong, logika macam apa ini? Pemerkosa justru harus mendapatkan tekanan sosial. Biar dia merasa tidak nyaman keluar rumah, biar dia dicemooh tetangga, biar dia tahu bahwa apa yang dia lakukan tidak akan pernah dimaafkan begitu saja.
Jangan balikkan kenyataan. Jangan lindungi pelaku dengan dalih etika hukum, sementara korban kalian ekspos habis-habisan. Jika hukum masih belum tegas, setidaknya masyarakat bisa memberikan sanksi sosial. Tapi untuk itu, pelaku harus dikenali. Bukan dikaburkan.
Menyalahkan Korban Itu Jahat, Dan Tidak Akan Pernah Benar
"Pakaiannya terbuka."
"Dia sering pulang malam."
"Dia pernah pacaran."
Berhenti. Kalimat-kalimat seperti itu bukan cuma jahat, tapi membuktikan bahwa kita hidup di masyarakat yang lebih siap membenarkan pemerkosa daripada mendengarkan korban.
Tidak ada alasan yang membenarkan pemerkosaan. Tidak ada. Pakaian bukan undangan, kehadiran bukan persetujuan, dan diam bukan persetujuan. Namun entah mengapa, masyarakat kita masih gemar menggali kesalahan dari pihak yang paling menderita. Sebagai pembaca, penonton, atau tetangga, kita seharusnya berdiri di sisi korban. Tapi kenyataannya? Kita terlalu sibuk mencari "alasan logis" untuk kejahatan yang seharusnya tidak terjadi.
Pendidikan seksualitas dan etika harus dimulai dari rumah, sekolah, hingga media. Kita harus mengubah cara pandang. Korban tidak salah. Korban tidak kotor. Korban butuh pertolongan, bukan penghakiman.
Media Bukan Hakim, Tapi Bisa Jadi Penyiksa Kedua
Seringkali, berita pemerkosaan ditulis dengan nada sensasional. Judul clickbait, narasi menggiring opini, dan pembaca dijejali detail vulgar. Untuk apa? Untuk rating. Untuk sensasi. Untuk keuntungan.
Tapi di balik itu, korban mengalami trauma kedua. Mereka merasa dikhianati. Seharusnya media bisa menjadi tempat untuk bersuara, namun malah menjadi ruang penghakiman tanpa ampun. Jurnalis bukan hanya tukang ketik. Anda punya kuasa membentuk opini publik. Gunakan dengan hati dan empati.
Jika media tidak bisa menjadi pelindung, maka setidaknya jangan jadi penyiksa. Jurnalisme harusnya bicara soal keadilan, bukan keuntungan dari tragedi orang lain.
Pendidikan Moral Masyarakat: Mulai dari Siapa yang Kita Bela
Kita bisa mengukur moralitas sebuah masyarakat dari bagaimana mereka memperlakukan korban kejahatan. Saat masyarakat lebih cepat memviralkan nama korban ketimbang menghujat pelaku, ada yang sangat salah. Kita harus mulai mengubah budaya ini dari hal kecil: jangan sebarkan video korban, jangan bicarakan gosipnya, jangan anggap dia "cewek murahan."
Kita bisa mulai dengan mengajarkan anak-anak kita bahwa tubuh orang lain bukan miliknya, bahwa persetujuan itu wajib, bahwa memaksa itu salah. Kita bisa mulai dari lingkungan kerja, buat SOP anti kekerasan seksual, buat tempat aman untuk bersuara. Dan yang paling penting, kita bisa mulai dari cara berpikir kita. Hentikan budaya menyalahkan korban. Mulai kenali siapa yang sebenarnya salah.
Jadilah Manusia yang Tidak Membuka Luka, Tapi Membantu Menutupnya
Korban pemerkosaan tidak butuh tatapan iba, apalagi penghakiman. Mereka butuh dukungan, perlindungan, dan keberanian kita untuk berdiri bersama mereka. Jika kamu adalah jurnalis, gunakan mediamu untuk membela, bukan membuka aib yang bahkan bukan milik korban. Jika kamu adalah masyarakat biasa, jadilah pelindung, bukan penyebar luka.
Pemerkosaan adalah kejahatan. Titik. Yang harus merasa malu, dihukum, dan dikucilkan adalah pelaku. Korban bukan aib. Korban adalah manusia yang butuh dimanusiakan.
Saatnya kita berpihak. Jika bukan pada korban, maka kita berdiri bersama pemerkosa. Pilihannya sesederhana itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI