Perempuan Belajar Jadi Ibu yang Baik, Laki-Laki Pun Sama Belajar Jadi Ayah yang Baik
Sejak kecil, anak perempuan sering diajarkan cara menggendong bayi, main masak-masakan, atau "berpura-pura jadi ibu" dalam permainan. Sementara anak laki-laki bebas jadi petualang, superhero, atau tukang pukul. Bahkan ketika dewasa, perempuan dituntut siap menjadi ibu yang penuh kasih, telaten, dan rela berkorban. Tapi... dimana tuntutan yang sama pada laki-laki untuk jadi ayah yang pengasih, penyabar, dan terlibat?.
Kita hidup di masyarakat yang begitu gigih mendidik perempuan untuk menjadi ibu yang baik, tapi terlalu permisif membiarkan laki-laki tumbuh tanpa bekal apa-apa untuk jadi ayah yang hadir. Padahal, anak yang lahir bukan hanya "anak ibunya", tapi juga "anak ayahnya". Maka, sangat tidak adil jika hanya satu pihak yang memikul tanggung jawab pengasuhan, pendidikan, dan kesejahteraan emosional anak.
Anak Tidak Hanya Butuh Nafkah, Mereka Butuh Sosok Ayah
Masih banyak yang percaya bahwa tugas utama seorang ayah adalah mencari nafkah, pulang bawa uang, lalu merasa selesai. Padahal, kebutuhan anak jauh lebih kompleks dari sekadar makan dan minum. Anak butuh figur laki-laki yang hangat, dekat, melindungi, dan memberikan teladan. Anak butuh "emosional presence" kehadiran secara hati dan perasaan, bukan cuma secara fisik atau finansial.
Banyak anak laki-laki tumbuh agresif atau tidak tahu cara memperlakukan perempuan karena tak pernah melihat ayahnya memperlakukan ibu dengan hormat. Banyak anak perempuan tumbuh haus cinta, rendah diri, bahkan terjebak dalam relasi beracun karena tak pernah merasakan kasih sayang dari sosok ayah. Lalu kita heran, kenapa generasi sekarang banyak yang luka?.
Padahal jawaban paling dasar, karena dari kecil mereka tumbuh hanya dengan setengah cinta. Ibu memberi cinta sepenuhnya, tapi ayah seringkali hanya hadir di secarik slip gaji. Ini bukan salah siapa-siapa secara pribadi, tapi salah budaya yang membebaskan laki-laki dari tanggung jawab emosional dan relasi, lalu menjadikan pengasuhan sebagai "urusan perempuan".
Menjadi Orang Tua Itu Proses Belajar Dua Arah, Bukan Tugas Tunggal
Perempuan sering diajari cara merawat anak, dari menyusui, menenangkan bayi, menyuapi, hingga menyekolahkan. Bahkan sebelum menikah pun, perempuan kerap sudah terbiasa diasuh untuk menjadi "istri dan ibu yang baik". Sementara laki-laki? Jarang sekali dibekali dengan keterampilan mengasuh, apalagi secara emosional dan spiritual.
Bayangkan jika laki-laki juga aktif belajar, ikut kelas parenting, membaca buku pengasuhan, berdiskusi tentang tumbuh kembang anak, atau bahkan ikut begadang saat bayi menangis. Anak akan tumbuh dengan dua tangan yang sama-sama menggendongnya, bukan satu tangan lelah yang terus-menerus dituntut sabar sementara tangan lain sibuk menggenggam ponsel atau urusan pekerjaan.