"Senakal-akalnya laki-laki, pasti ingin dapat perempuan yang baik", katanya. Namun Enggan Memantaskan Diri?.
Ada satu kalimat yang kerap kita dengar berulang kali, bahkan dianggap sebagai kebenaran universal,
"Senakal-nakalnya laki-laki, pasti ingin dapat perempuan yang baik."
Sekilas terdengar manis dan manusiawi. Laki-laki yang pernah jatuh, pernah salah, ingin "diselamatkan" oleh perempuan baik-baik. Tapi bila direnungkan lebih dalam, apakah benar narasi ini adil bagi semua pihak, terutama perempuan yang dimaksud?.
Mimpi Tentang Perempuan Baik, Tanpa Usaha untuk Menjadi Lelaki yang Baik
Tidak semua laki-laki berpikir seperti ini, tentu. Namun faktanya, tak sedikit yang menjadikan kebaikan perempuan sebagai sesuatu yang harus mereka miliki, sebuah hadiah, pelipur lara, atau bahkan "tempat pulang" setelah mereka lelah berkelana dan berbuat sesuka hati.
Sayangnya, tidak sedikit pula dari mereka yang justru tidak berniat memantaskan diri untuk perempuan yang mereka dambakan. Mereka ingin perempuan yang tidak pernah pacaran, tapi bangga pernah menjalin banyak hubungan. Mereka ingin perempuan yang anggun, lembut, dan setia, tapi diri mereka sendiri belum selesai dengan kebiasaan berkata kasar, berselingkuh, atau lari dari tanggung jawab. Mereka ingin istri salehah, tapi masih enggan mendekat pada Tuhan.
Apakah ini adil?
Nasib Perempuan Baik: Haruskah Mereka Menanggung Beban "Membenahi"?
Pertanyaan besar berikutnya muncul, kalau laki-laki nakal ingin perempuan baik, lalu perempuan baik harus dapat siapa?. Apakah perempuan baik harus menanggung beban "mengubah" laki-laki nakal menjadi lebih baik?. Apakah mereka layak mendapatkan pasangan yang masih setengah matang, masih tenggelam dalam egonya, masih belum tahu arah, hanya karena laki-laki itu ingin "diselamatkan"?