Jangan balikkan kenyataan. Jangan lindungi pelaku dengan dalih etika hukum, sementara korban kalian ekspos habis-habisan. Jika hukum masih belum tegas, setidaknya masyarakat bisa memberikan sanksi sosial. Tapi untuk itu, pelaku harus dikenali. Bukan dikaburkan.
Menyalahkan Korban Itu Jahat, Dan Tidak Akan Pernah Benar
"Pakaiannya terbuka."
"Dia sering pulang malam."
"Dia pernah pacaran."
Berhenti. Kalimat-kalimat seperti itu bukan cuma jahat, tapi membuktikan bahwa kita hidup di masyarakat yang lebih siap membenarkan pemerkosa daripada mendengarkan korban.
Tidak ada alasan yang membenarkan pemerkosaan. Tidak ada. Pakaian bukan undangan, kehadiran bukan persetujuan, dan diam bukan persetujuan. Namun entah mengapa, masyarakat kita masih gemar menggali kesalahan dari pihak yang paling menderita. Sebagai pembaca, penonton, atau tetangga, kita seharusnya berdiri di sisi korban. Tapi kenyataannya? Kita terlalu sibuk mencari "alasan logis" untuk kejahatan yang seharusnya tidak terjadi.
Pendidikan seksualitas dan etika harus dimulai dari rumah, sekolah, hingga media. Kita harus mengubah cara pandang. Korban tidak salah. Korban tidak kotor. Korban butuh pertolongan, bukan penghakiman.
Media Bukan Hakim, Tapi Bisa Jadi Penyiksa Kedua
Seringkali, berita pemerkosaan ditulis dengan nada sensasional. Judul clickbait, narasi menggiring opini, dan pembaca dijejali detail vulgar. Untuk apa? Untuk rating. Untuk sensasi. Untuk keuntungan.
Tapi di balik itu, korban mengalami trauma kedua. Mereka merasa dikhianati. Seharusnya media bisa menjadi tempat untuk bersuara, namun malah menjadi ruang penghakiman tanpa ampun. Jurnalis bukan hanya tukang ketik. Anda punya kuasa membentuk opini publik. Gunakan dengan hati dan empati.