Mohon tunggu...
Hilma Nuraeni
Hilma Nuraeni Mohon Tunggu... Content Writer

INFP-T/INFJ Book, nature, classical music, and poem🍁 Me and my writing against the world 🌼

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Puber Kedua, Kenapa Kisah Jatuh Cinta yang Sangat Menjijikkan?

17 Mei 2025   12:20 Diperbarui: 20 Mei 2025   17:18 186156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah puber kedua mungkin terdengar lucu, ringan, bahkan romantis bagi sebagian orang. Biasanya digunakan untuk menggambarkan seseorang yang sudah memasuki usia dewasa baik pria maupun wanita yang kembali merasakan gejolak cinta layaknya remaja. 

Sayangnya, kisah cinta versi "puber kedua" ini sangat jarang terdengar indah, apalagi membuat iri yang memihatnya. Justru sebaliknya, ia sering kali menjijikkan. 

Bukan karena cinta itu salah, tapi karena bentuk cinta yang dijalani dalam puber kedua ini sering kali menyakiti dan mengkhianati keluarga yang sudah dibangun bertahun-tahun lamanya

Kenapa Bisa Terjadi Puber Kedua?

Puber kedua tidak datang tiba-tiba. Ia sering dipicu oleh krisis identitas, rasa jenuh dalam hubungan, atau kebutuhan emosional yang tak terpenuhi di rumah. 

Pada usia 35--50 tahun, banyak orang merasa "kehilangan" dirinya. Merasa tua, tidak menarik lagi, bahkan merasa tidak dihargai oleh pasangan atau anak-anaknya. 

Lalu muncul sosok lain di luar rumah entah itu rekan kerja, teman lama, atau orang asing yang memberi perhatian, pujian, dan ruang untuk merasa "hidup kembali".

Seketika, gejolak cinta remaja yang dulu terasa lugu, kini datang lagi namun dalam bentuk yang jauh lebih rumit dan... menyakitkan. Perasaan yang semula terasa membahagiakan ini perlahan berubah menjadi racun yang menghancurkan rumah tangga, kepercayaan, dan rasa aman keluarga.

Mengapa Disebut Menjijikkan?

Kita perlu menyebut ini dengan keras dan jelas, puber kedua yang berujung pada perselingkuhan atau pengkhianatan keluarga bukanlah hal lucu atau memaklumi. Ini bukan fase yang bisa dimaafkan begitu saja. Kenapa?

  1. Mengorbankan Anak-anak yang Tak Tahu Apa-apa

Dalam banyak kasus, puber kedua membuat orang tua kehilangan arah dan mengabaikan kebutuhan emosional anak. 

Anak-anak bukan hanya korban perpisahan, tetapi juga korban rasa tidak aman. Mereka mulai mempertanyakan cinta, kepercayaan, dan makna keluarga. Yang lebih menyedihkan, banyak anak mulai menyalahkan diri sendiri atas hancurnya rumah tangga orang tuanya.

Apa yang bisa lebih menjijikkan daripada orang dewasa yang rela membakar seluruh rasa aman anak-anaknya demi sebuah "petualangan cinta baru"?

  1. Menghancurkan Kepercayaan Pasangan Tanpa Alasan yang Layak

Banyak pasangan merasa sangat terluka saat mengetahui bahwa orang yang mereka cintai dan percaya selama bertahun-tahun, kini mengalihkan hatinya ke orang lain. 

Sering kali, mereka bahkan tidak diberi penjelasan yang layak. Yang satu merasa "bosan", yang lain merasa "tidak dihargai". Padahal, rumah tangga bukan tempat untuk menyerah diam-diam. 

Jika memang ada masalah, komunikasikan dan perbaiki. Jika merasa tidak cocok, bicarakan. Tapi jangan tiba-tiba jatuh cinta pada orang lain dan menyalahkan situasi.

Menyalahkan perasaan sebagai pembenaran adalah hal yang sangat egois, bahkan menjijikkan jika dilakukan oleh orang yang seharusnya sudah dewasa secara emosi.

  1. Merasa Jadi Korban Padahal Pelaku

Salah satu ciri khas dari pelaku puber kedua yang menyimpang adalah merasa dirinya korban, korban istri/suami yang dingin, korban kesepian, korban rutinitas. 

Padahal dalam rumah tangga, dua pihak punya tanggung jawab memperbaiki relasi. Merasa jadi korban justru menjadi cara paling pengecut untuk menghindari tanggung jawab. Di titik ini, jatuh cinta bukan lagi tentang keindahan, tapi tentang pencitraan semu dan pelarian dari kenyataan.

  1. Menormalisasi Pengkhianatan

Ini yang paling mengerikan: masyarakat kita mulai menormalisasi perselingkuhan sebagai bagian dari dinamika rumah tangga. Banyak yang berkata, "Ah, itu biasa. Nanti juga balik lagi." 

Kalimat seperti ini justru memberi ruang aman bagi pelaku untuk merasa tidak bersalah. Padahal, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Tidak peduli seberapa cinta alasan yang dipakai.

Jika kita terus membiarkan hal ini terjadi dan memaklumi, maka kita sedang membiarkan nilai-nilai pernikahan dan keluarga digerus oleh ego pribadi.

Dampaknya Tidak Main-main

Jangan pernah anggap remeh puber kedua. Ia mungkin hanya berawal dari perasaan biasa, tapi bisa tumbuh jadi badai besar yang meruntuhkan segalanya.

  • Keluarga hancur, anak-anak kehilangan pegangan.
  • Pasangan merasa rusak secara batin dan sulit percaya lagi.
  • Citra diri pelaku juga rusak baik di mata sosial maupun dalam batin sendiri.
  • Dan yang lebih dalam lagi, hilangnya rasa hormat dari anak-anak di masa depan.

Bayangkan ketika anakmu yang kini masih kecil tumbuh dewasa dan menyadari bahwa salah satu orang tuanya meninggalkan rumah hanya karena "jatuh cinta lagi". Apa yang akan ia pelajari? Apa yang akan ia tiru?.

Puber Kedua Bukan Tak Mungkin Dihadapi dengan Dewasa

Jangan salah. Merasa bosan atau tidak dicintai dalam rumah tangga itu manusiawi. Tapi puber kedua seharusnya jadi alarm untuk memperbaiki hubungan, bukan mencari pengganti. 

Saat kamu merasa kosong, itu tanda untuk mengevaluasi komunikasi dengan pasanganmu. Mungkin kamu butuh ruang, mungkin kamu butuh dihargai, atau mungkin kamu butuh dukungan emosional.

Tapi satu hal yang pasti, kamu tidak butuh merusak rumah tangga hanya demi perasaan sesaat yang belum tentu bertahan lama.

Bagaimana Menghadapinya?

1. Sadari dan terima bahwa kamu sedang rapuh. Banyak yang menyangkal sedang mengalami puber kedua karena malu atau merasa itu memalukan. Padahal, mengakui bahwa kamu butuh pertolongan adalah awal dari kedewasaan.

2. Jujur pada diri sendiri. Apakah kamu benar-benar mencintai orang itu? Atau hanya merasa diperhatikan setelah lama diabaikan? Bedakan cinta dengan euforia. Jangan buat keputusan permanen saat kamu sedang dalam perasaan sementara.

3. Cari bantuan profesional. Konseling pernikahan atau terapi individu bisa sangat membantu. Jangan tunggu sampai semua hancur. Masalah emosional butuh ruang untuk dibicarakan dan diurai secara sehat.

4. Kembalilah ke anak-anakmu. Lihatlah wajah anak-anakmu. Mereka adalah bukti cinta yang pernah kamu janjikan kepada pasanganmu. Jangan rusak kehidupan mereka karena kamu tidak bisa mengendalikan egomu sendiri. 

Saatnya Bertanggung Jawab

Puber kedua bukan aib. Tapi membiarkan puber kedua merusak rumah tangga dan menyakiti anak-anakmu, itu adalah kesalahan besar. 

Jatuh cinta itu memang hak setiap orang. Tapi bertanggung jawab atas cinta yang sudah kamu ikrarkan sebelumnya, adalah bentuk kematangan tertinggi.

Jangan jadikan usia sebagai alasan untuk kembali bersikap seperti remaja yang tak berpikir panjang. Jadilah dewasa yang bisa menahan diri, menimbang risiko, dan bertindak dengan penuh kesadaran. 

Karena tidak ada yang indah dari kisah cinta yang menjijikkan apalagi jika ia dibangun di atas tangis dan luka keluarga sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun