Menormalisasi Pengkhianatan
Ini yang paling mengerikan: masyarakat kita mulai menormalisasi perselingkuhan sebagai bagian dari dinamika rumah tangga. Banyak yang berkata, "Ah, itu biasa. Nanti juga balik lagi."
Kalimat seperti ini justru memberi ruang aman bagi pelaku untuk merasa tidak bersalah. Padahal, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Tidak peduli seberapa cinta alasan yang dipakai.
Jika kita terus membiarkan hal ini terjadi dan memaklumi, maka kita sedang membiarkan nilai-nilai pernikahan dan keluarga digerus oleh ego pribadi.
Dampaknya Tidak Main-main
Jangan pernah anggap remeh puber kedua. Ia mungkin hanya berawal dari perasaan biasa, tapi bisa tumbuh jadi badai besar yang meruntuhkan segalanya.
- Keluarga hancur, anak-anak kehilangan pegangan.
- Pasangan merasa rusak secara batin dan sulit percaya lagi.
- Citra diri pelaku juga rusak baik di mata sosial maupun dalam batin sendiri.
- Dan yang lebih dalam lagi, hilangnya rasa hormat dari anak-anak di masa depan.
Bayangkan ketika anakmu yang kini masih kecil tumbuh dewasa dan menyadari bahwa salah satu orang tuanya meninggalkan rumah hanya karena "jatuh cinta lagi". Apa yang akan ia pelajari? Apa yang akan ia tiru?.
Puber Kedua Bukan Tak Mungkin Dihadapi dengan Dewasa
Jangan salah. Merasa bosan atau tidak dicintai dalam rumah tangga itu manusiawi. Tapi puber kedua seharusnya jadi alarm untuk memperbaiki hubungan, bukan mencari pengganti.
Saat kamu merasa kosong, itu tanda untuk mengevaluasi komunikasi dengan pasanganmu. Mungkin kamu butuh ruang, mungkin kamu butuh dihargai, atau mungkin kamu butuh dukungan emosional.
Tapi satu hal yang pasti, kamu tidak butuh merusak rumah tangga hanya demi perasaan sesaat yang belum tentu bertahan lama.