Mohon tunggu...
nur hidayah
nur hidayah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agama dan Manusia: Telaah keberagamaan Masyarakat Kudus

4 Desember 2018   13:53 Diperbarui: 4 Desember 2018   14:17 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang
  • Agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan polapola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut agama (religious).[1] Ensiklopedi Islam Indonesia menyebutkan, bahwa agama4 berasal dari kata Sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi dalam penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut tetapi dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga berasal dari bahasa Sansekerta). Lepas dari masalah pendapat mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya memang memandang agama5 itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun oleh masyarakat, agar hidup mereka menjadi tertib, damai dan tidak kacau.[2]
  • Agama Islam adalah agama terakhir, agama keseimbangan dunia akhirat, agama yang tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan menurut sunnah Rasulullah, agama yang mewajibkan manusia baik pria maupun wanita.[3] Allah SWT telah mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang mana meliputi segi-segi fundamental tentang duniawi dan ukhrowi guna menghantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan akhirat.[4] Setiap manusia pasti ada dorongan untuk beragama. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan alamiah, dalam watak kejadian manusia dalam relung jiwanya, manusia merasakan adanya suatu dorongan yang mendorong untuk mencari dan memikirkan Sang Pencipta.[5]
  •  
  • Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi oleh negara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain, setiap orang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Menurut Soerjanto Poespowardojo bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya.[6]
  • Islam bersama-sama dengan Nasrani dan konghucu menjadi pilar keberagamaan di kota Kudus. Penanaman keberagamaan harus dimulai dari masa anak-anak penanaman atau perasaan keberagamaan akan melekat dalam diri dan alam pribadi anak, ketika anak mengenal agama sejati dari kecil. Pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya, orang tua tidak hanya membekali anak dengan pengetahuan agama, atau mengembangkan intelek anak saja tanpa mengisi dan menyuburkan perasaan agama, akan tetapi penanaman keberagamaan menyangkut keseluruhan diri pribadi anak, mulai dari latihanlatihan (amaliah) sehari-hari yang sesuai dengan ajaran agama, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam semesta, serta manusia dengan dirinya sendiri.[7
    • Rumusan Masalah
  •  
    • Apa yang dimaksud dengan agama dan manusia ?
  •  
    • Apa yang dimaksud dengan harmoni dalam keberagaman ?
  •  
    • Bagaimana keberagamaan masyarakat kudus ?
  •  

BAB II

 

PEMBAHASAN

 

 Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan. Tuhan dan hubunga manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai makhluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika. Dengan demikian, filsafat membahas agama dari segi metafisika dan fisika. Namun, titik tekan pembahasan filsafat agama lebih terfokus pada aspek metafisiknya ketimbang aspek fisiknya. Aspek fisik akan lebih terang diuraikan dalam ilmu alam, seperti biologi dan psikologi serta antropologi.[8] Agama berasal dari bahasa Sankskrit. Ada yang berpendapat bahwa kata itu terdiri atas dua kata, "a" berarti tidak dan "gam" berarti pergi, jadi agama artinya tidak pergi; tetap di tempat; diwarisi turun temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci. Selanjutnya dikatakan bahwa gam berarti tuntunan. Agama juga mempunyai tuntunan, yaitu kitab suci. Menurut Hendro Puspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat pada umumnya.[9] Pengertian agama bila ditinjau secara deskriptif sebagaimana yang telah diungkapkan oleh George Galloway adalah sebagai keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampui dirinya kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian.[10] Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.[11] Agama juga berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.[12] Berpijak kepada beberapa definisi tentang agama sebagaimana dijelaskan oleh beberapa ahli di atas menunjukkan makna dasar agama sebagai entitas yang akan senantiasa mengkorelasikan eksistensinya terhadap kehidupan keagamaan dan keberagamaan masyarakat. Untuk itulah, demi menganalisis secara seksama atas manifestasi agama dalam kehidupan masyarakat penting untuk menggarisbawahi simpulan dasar pendekatan dalam studi agama sebagaimana dijelaskan oleh Abdurrahman Mas'ud. Dalam simpulan dasar ini, Mas'ud (2004, hal. 48) menjelaskan penting untuk mendudukkan keberadaan agama dalam kerangka kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah (the truth) memiliki beberapa kriteria yang di antaranya adalah; pertama, harus memenuhi teori koherensi atau logically consistent, berpikir secara runtut, yakni pernyataan-pernyataan sebelumnya. Kriteria kedua adalah korespondensi dengan tokohnya Betrand Russel (1872-1970) yang mengatakan "It is better to be clearly wrong than vaguely right" (lebih baik salah tapi jelas, daripada benar tetapi samar-samar). Bagi teori ini, kebenaran terjadi ketika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berhubungan (berkoresponden) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Yang ketiga adalah kebenaran pragmatis yang dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914). Teori ketiga ini dikembangkan oleh para filsuf Amerika Serikat di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), dan sebagainya. Kebenaran di sini diukur apakah satu pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Kegunaan praktis dalam kehidupan manusia adalah inti dari teori ini. Kaum pragmatis percaya kepada agama karena agama bersifat fungsional dalam memberikan pegangan moral dan solidaritas sosial. Kaum ini juga percaya pada demokrasi dipandang fungsional dalam menemukan konsensus masyarakat.[13] 
  • Masyarakat sebagai manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi oleh negara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain, setiap orang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Manusia adalah Makhluk yang berakal budi/insanulkamil artinya makhluk yang paling Sempurna. Menurut Adz-Dzaky manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek jasmaniyah lebih-lebih rohaniyahnya. Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini[14] Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan Allah SWT. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT.[15] Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskansecara rinci. Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT.[16] 
  • Manusia dalam pandangan Islam tediri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani manusia bersifat materi yang berasal dari unsur-unsur sari pati tanah. Sedangkan roh manusia merupakan substansi immateri, yang keberadaannya dia alam baqa nanti merupakan rahasia Allah SWT. Proses kejadian manusia telah dijelaskan dalam Al Qur'anul Karim dan Hadits Rasulullah SAW. Dari beberapa uraian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa manusia menurut pandangan islam adalah makhluk yang paling sempurna (insan kamil) yang pernah di ciptakan olleh Allah SWT karena manusia mempunyai hati, perasaan dan akal.
 Kehadiran agama dalam kehidupan manusia (sebagai masyarakat) merupakan pedoman berharga bagi perjalanan kehidupan mereka. Masyarakat dengan keyakinannya atas suatu agama akan dihantarkan kepada kesadaran bahwa orientasi kehidupannya akan menjadi terarah seiring dengan orientasi dasar dari hakikat agama yang diyakini. Agama akan memberikan ruang komunikasi efektif di antara manusia dengan penciptanya. Kesadaran komunikasi antara manusia dengan penciptanya akan seutuhnya terwujud ketika manusia menyadari arti penting dari agama yang hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. Dalam pertumbuhan agama itu sendiri eksistensinya seringkali menjumpai hal-hal yang bernilai kompleks sehingga menuntut pemaknaan yang terarah agar tidak terjadi kesalahan persepsi. Pada pangkalan inilah, Permata (2000, hal. 14) menjelaskan sifat agama sebagai objek kajian, di dalam dirinya sendiri, merupakan sumber dari segala kerumitan usaha studi terhadapnya. Hingga saat ini, belum pernah terjadi kesepakatan di kalangan para pengkaji mengenai batasan agama di mana pangkal dan di mana ujungnya. Agama muncul sebagai fenomena yang kompleks dan cair, tidak gampang untuk dirumuskan. Ia meresap ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia, sehingga kajian terhadap agama selalu akan berhimpitan dengan kajian-kajian bidang lain.[17]  
  • Harmoni Dalam Keberagaman
 
  • Manusia sebetulnya telah dicipta untuk hidup di dalam dunia yang serupa yang terdapat di dalamnya ada satu matahari di langit sehingga penampakan normal matahari yang satu-satunya di angkasa itu bertalian dengan susunan alami pikiran dan jiwa manusia, dan itulah satu-satunya yang membentuk lingkungan yang alami dan bermakna baginya. Dalam kenyataan ini Nasr menyatakan bahwa dalam lingkungan keagamaan manusia telah dicipta untuk hidup dalam suatu tradisi keagamaan yang homogen. Dalam setiap perjalanan hidup manusia, agama telah memberikan warna yang sangat berarti bagi kehidupan mereka, mengapa berbagai agama senantiasa bertahan dan dianut oleh manusia? Secara antropologis, sosiologis dan psikologis berbagai agama itu bertahan hidup karena agama bisa memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia.  Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa bumi manusia ini hanyalah satu, sementara penghuninya terkotak-kotak dalam berbagai suku, ras, bangsa, profesi, kultural dan agama. Mengingkari kenyataan pluralitas di atas sama halnya dengan mengingkari kesadaran kognitif manusia itu sendiri. Begitu juga ketika berbicara tentang agama, kata agama selalu tampil dengan bentuk plural (religions). Di balik pluralitas itu terdapat ciri umum yang sama, yang menjadi karakter agama. Dalam kenyataan ini Komaruddin Hidayat mendeskripsikan bahwa membayangkan dalam kehidupan ini hanya terdapat satu agama, rasanya merupakan suatu ilusi belaka.3 Kesucian dari fithrah yang terdapat dalam diri manusia adalah suatu cerminan akan kesamaan konsep penciptaan terhadap manusia itu sendiri. Kalau dilihat dari proses awal penciptaan manusia serta mempelajari kepercayaan mereka, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini.
 Quraish Shihab mendasarkan pandangannya akan kesuciaan (fithrah) penciptaan manusia dengan melihat realitas dari orang-orang Yunani Kuno yang menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan) Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari. Gambaran lain yang dapat diketemukan dalam kepercayaan umat manusia terhadap keagungan Tuhan adalah, orang-orang Hindu---masa lampau---juga mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata masyarakat Mesir. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris, dan yang tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang.[18] Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan memunculkan konflik bahkan kekerasan (violence). Oleh karena itu memahami pluralitas secara dewasa dan arif merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perbedaan budaya, tradisi atau kultur seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik sosial. Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu komunitas masyarakat tidak selamanya dapat berjalan damai.[19] Manifestasi agama dalam berbagai bentuk budaya lokal di Indonesia dapat dilihat dalam keragaman budaya nasional. Kita akan mendapatkan sebuah ekspresi dan pola budaya yang berbeda-beda sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Dengan kata lain, agama selalu dihadapkan dengan dialektika budaya setempat. Yang penting adalah bagaimana yang universal berada dalam wilayah dialog yang mutual dengan budaya-budaya lokal yang bersifat partikular. Perubahan dan dinamika budaya mengharuskan masyarakat/pemeluk agama untuk membuka kesadaran kolektif bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini tidak berarti menempatkan agama untuk kemudian diletakkan pada posisi subordinat dalam hubungannya dengan dinamika perkembangan sosial budaya, bahkan politik dan ekonomi, melainkan antara pemahaman agama dan budaya mestinya dilihat sebagai suatu proses hubungan dialektika, dinamis, akomodatif dan proaktif.[20]Salah satu ciri utama kebudayaan Jawa adalah kelenturan dalam proses dialog dengan seluruh kebudayaan yang datang dari luar dirinya. Dalam setiap proses dialog, kebudayaan jawa senantiasa dapat menemukan kembali jati dirinya. Yang terjadi adalah akulturasi dan pergumulan, yang kemudian menghasilkan sosok budaya baru. Proses dialog inilah yang disebut dengan transformasi perubahan bentuk dan watak masyarakat.[21]
  • Dinamika di atas adalah gambaran dari beragamnya kepercayaan umat manusia dari awal keberagamaannya, yang pada akhirnya akan mempertemukan mereka dalam wadah kepercayaannya kepada Yang Abadi yaitu Tuhan Yang Maha Absolut. Argumentasi yang dibangun oleh Quraish Shihab dalam melihat dimensi kesucian fithrah manusia dengan menyatakan bahwa al-Qur'an mengisyaratkan adanya kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fithrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat al-Rum (30): Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) Fithrah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tiada perubahan pada fithrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
 
  • Realitas kesucian sebagai bagian dari hakikat kehidupan manusia dipandang oleh Nasr sebagai kebangkitan tradisi. Dalam analisa Nasr membangkitkan tradisi serta menyadarkan manusia akan pemenuhan tradisi sebagai bagian dari kesucian  dan menyadarkan mereka akan arti penting dari tradisi, telah memberikan pemenuhan final dan sempurna pencarian manusia kontemporer terhadap penemuan kembali kesucian.
 
  • Membangkitkan tradisi sebagai landasan dari kesucian dalam dimensi keagamaan umat adalah keniscyaan yang harus diagungkan. Bukti ini dilandaskan karena agama yang datang dari Tuhan itu memang sempurna dan satu karena Tuhan itu Maha Sempurna dan Maha Tunggal. Akan tetapi, karena agama itu datang untuk umat manusia maka mau tidak mau agama harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan sifat-sifat kemanusiaan dengan berbagai dinamikanya. Untuk mewujudkan nilai keseragaman dalam dimensi keagamaan, Frithjof Schuon mengatakan:
 
  • Agar agama dianggap tetap ortodoks, ia harus didukung sepenuhnya oleh doktrin yang memadai tentang Yang mutlak. Ia juga harus menjunjung tinggi dan mewujudkan suatu kerohanian yang sesuai dengan doktrin tersebut baik sebagai konsep maupun realitas. Ini berarti ia harus berhulu Ilahi dan karenanya diikuti dengan sakramental atau kehadiran supranatural yang menjelmakan dirinya terutama di dalam mukjizat-mukjizat dan dalam seni sakral. Unsur-unsur formal tertentu seperti tokoh-tokoh rasul dan kejadian-kejadian keramat berada di dalam unsurunsur utama di atas. Oleh karena itu semua ini mungkin yang membedakan dalam signifikansi dan nilai antara satu agama dengan agama lainnya, karena perbedaan manusiawi menjadikan perbedaan semacam itu tidak terelakkan, tanpa menyebabkan timbulnya pertentangan dalam kriteria penting yang menyangkut kebenaran metafisis dan kekuatan penyelamat serta stabilitas manusia.
  
  • Mengembalikan agama dalam wadahnya yang Satu dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan Tuhan), adalah suatu bukti bahwasannya dalam semua agama terdapat visi yang sama. Lebih lanjut, gambaran yang dapat ditelaah kembali adalah realitas keagamaan dalam Islam dan Hinduisme yang memiliki suatu realitas yang sangat berbeda, tidak ada satu nilai pun yang dapat mempertemukannya, apalagi keduanya mempunyai sejarah bentukan yang berbeda. Padahal kedua agama ini, seperti dikatakan kaum perenialis, pada tingkat the common vision mengikuti istilah Huston Smith, mempunyai kesatuan kalau tidak malah kesamaan gagasan dasar yang dalam Islam disebut dengan "pesan dasar agama," (yaitu islam dalam arti generiknya yaitu "sikap pasrah," untuk selalu bertakwa: selalu menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari).
 Penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari adalah dimensi pokok yang selalu ada dalam inti ajaran semua agama. Dalam konteks agama-agama, penerimaan adanya the common vision ini berarti menghubungkan kembali the many (dalam hal ini adalah realitas eksoteris agama-agama) kepada asalnya The One (Tuhan), yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluknya, sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga kesan empiris tentang adanya agama-agama yang majemuk itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan: bahwa ada satu realitas yang menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut. Kesatuan agama-agama yang dimaksud di atas bukanlah dalam doktrindoktrin, ajaran-ajaran, bentuk-bentuk atau cara-cara ibadahnya, tetapi terletak dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan Tuhan), atau Tuhan sendiri. Berangkat dari adanya pemahaman akan kesatuan persepsi---the common vision---dalam mencapai Yang Satu dalam suatu agama adalah suatu metodologi yang dapat dijadikan sudut pandang, bahwa dari proses inilah agama dalam aspek dasariahnya memiliki nilai yang universal seperti adanya kesamaan visi tentang Kebenaran Abadi sehingga mengesampingkan realitas parsial dari agama.[22] Keutuhan pesan, dengan menjadikan Tuhan sebagai sumber dari segala aktivitas keberagamaan manusia adalah suatu keniscayaan yang harus dipercayai oleh segenap manusia. Agama Islam dengan seorang utusannya sebagai pembawa wahyu Tuhan, agama Kristen dengan misionarisnya membawa pesan Kasih dan Sayang di mana antara Tuhan dan manusia terdapat satu pertalian yang kuat, dan di lain pihak agama Yahudi juga tidak jauh berbeda muatan pesannya, begitu pula dengan agama Hindu dan agama Budha serta agama lainnya di bumi, pesan moral yang termuat di dalamnya tidak mungkin jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, betapa pun jauhnya perbedaan nuansa eksoteris dari agama-agama ini dapat dikatakan terdapat satu bentuk pesan yang diwahyukan dalam keberagamaan ini. Keselamatan, kesejahteraan, dan kebersamaan adalah keutuhan dari semua tujuan agama-agama ini. Sementara Tuhan adalah Pemilik dari semua keselamatan, kesejahteraan, serta kerukunan dari mereka, Dia tidak mendambakan suatu agama yang menggambarkan adanya kekerasan. Dalam membangun dimensi toleransi dalam kehidupan keberagamaan umat manusia, Islam memberikan proporsi yang sangat tajam dengan melihat manusia dalam konsep awal penciptaannya yaitu satu dan tidak terbagi---Adam dan Hawa---. Manusia diciptakan dalam satu kesetaraan, semua manusia adalah hamba-hamba-Nya, sama-sama diberikan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Mereka memiliki kecakapan serta rasa tanggung jawab, tidak ada pengecualian atas mereka, tidak seorang pun memiliki "kemerdekaan" dalam kuasa-Nya. Tidak seorangpun memiliki hak istimewa dan tertinggi untukNya. Tidak ada seorang pun memiliki beban yang lebih ringan atau beban yang lebih berat atas yang lainnya atau tanggung jawabnya yang terlimpahkan kepada orang lain, rasa tanggung jawab dalam hal ini adalah murni personal. Kesederajatan yang absolut dan pemahaman Islam yang universal secara tidak langsung adalah implikasi dari adanya al-Tauhid (Keesaan Tuhan, Realitas Tertinggi dan Transendental). Melalui pemberlakuan Hukum Tuhan, penanaman nilainilai moral kepada segenap manusia, dan penciptaan ikatan persaudaraan, Islam telah menunjukkan peran yang besar dalam mengintegrasikan masyarakat manusia. Suatu lingkaran konsentris dapat menggambarkan berbagai area hubungan. Di titik pusat adalah hubungan antara individu dan Tuhan. Di sekitar daerah pusat adalah lingkaran hubungan keluarga, kemudian lingkaran berikutnya adalah masyarakat satu desa atau kota, selanjutnya lingkaran masyarakat satu bangsa (wathan) dalam pengertian yang umum, dilanjutkan dengan lingkaran komunitas Islam (ummah), dan terakhir adalah lingkaran hubungan umat manusia dan seluruh makhluk di dunia secara keseluruhan. Sama halnya bahwa setiap lingkaran dalam rangkaian tersebut memiliki pusat yang satu, maka setiap hubungan seluruhnya tetap disandarkan pada hubungan dasar antara manusia dan Tuhan. Tatanan hirarkis hubungan manusia di atas adalah dimensi logis yang harus dipahami oleh masing-masing orang akan keterikatannya dengan manusia lebih-lebih hubungan mereka dengan Tuhan. Lebih jauh lagi Nasr memberikan suatu tatanan bahwa al-Tauhid atau kesatuan, yang merupakan doktrin sentral Islam dan juga bermakna "integrasi", karenanya dimulai dengan integrasi jiwa individu ke dalam lokus tempat Tuhan bersemayam, baru kemudian ditarik kepada ikatan-ikatan antara anggota keluarga dan selanjutnya kepada kelompok-kelompok yang lebih besar dan seterusnya sampai akhirnya melingkupi seluruh makhluk hidup.[23]      Keberagamaan Masyarakat Kudus Dalam kajian keagamaan, Jalaluddin Rahmat menyebutkan ada dua kajian agama, yaitu ajaran dan keberagamaan. Ajaran adalah teks lisan atau tulisan yang sakral dan menjadi sumber rujukan bagi suatu pemeluk agama. Sedangkan keberagamaan (religiosity) adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada ajaran agama.[24] Kata "keberagamaan" adalah padanan kata atau terjemahan dari kata "religiosity" dalam bahasa Inggris, sebagaimana perpadanan dua kata tersebut pernah dilakukan oleh Jalauddin Rahmat. Sedangkan di sini dipilih kata "keberagamaan" mengingat masalah keberagamaan yang dikemukkaan oleh R. Stark dan C.Y Glock sebagai kerangka teori utama. Menurut Psikolog R. Stark dan C.Y Glock dalam karyanya tentang Dimensi-dimensi Keberagamaan yang dikutip oleh A. Fedyani Syaefuddin, keberagamaan berarti ketaatan atau komitmen kepada agama yang meliputi banyak unsur yaitu keanggotaan Gereja, keyakinan terhadap doktrin agama, etika hidup kehadiran dalam cara peribadatan, pandanganpandangan dan banyak lagi tingkatan yang menunjukkan ketaatan pada agama. Di antara yang mendasari pengertiaan keberagamaan adalah adanya dimensi-dimensi keberagamaan, yaitu : Dimensi Keyakinan Agama Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan di mana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran-kebenaran dan doktrin-doktrin tersebut. Dimensi Praktek Agama Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dimensi Pengalaman Agama Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaanperasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku agama. Dimensi Pengetahuan Agama Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengeahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab-kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi Konsekuensi Agama Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan seseorang dari hari ke hari.[25]             Sedangkan menurut Psikolog G.W. Allport sebagaimana yang dikutip oleh AM. Hardjono, mendefinisikan keberagamaan melalui dua tipe keberagamaan, yaitu keberagamaan ekstrinsik dan keberagamaan intrinsik. Keberagamaan ekstrinsik adalah agama yang dimanfaatkan, agama berguna melawan kenyataan atau memberi sangsi pada suatu cara hidup. Keberagamaan intrinsik adalah agama yang dihayati, iman dipandang sebagai suatu yang bernilai pada diri sendiri yang menuntut pada keterlibatan dan mengatasi kepentingan.[26]             Dalam buku Pengantar Psikologi Agama, Robert H. Thouless menyatakan ada empat faktor yang sudah bisa menghasilkan sikap keagamaan, yaitu pengaruh-pengaruh sosial, berbagai pengalaman, kebutuhan dan proses pemikiran. Dan di antara empat faktor, faktor pengaruh sosial merupakan penyebab sikap keberagamaan kebanyakan orang, sedang faktor faktor yang lainnya hanyalah penyebab sikap keagamaan orang-orang yang kreatif dari jumlah kecil.[27]             Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberagamaan Faktor Internal   Faktor Hereditas Factor tingkat usia Factor kepribadian Faktor Eksterna Lingkungan Keluarga Lingkungan Institusional Lingkungan Masyarakat[28] Sedangkan dalam lintasan penyebaran agama Islam di tanah Jawa, Raden Dja'far Shodiq atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus memiliki peranan yang cukup besar bagi keberislaman masyarakat. Kiprah Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam terlihat sangat jelas dari bukti peninggalan yang dibangunnya di salah satu kota Pulau Jawa tepatnya di Kota Kudus Jawa Tengah. Masjid al-Aqsha disebut juga Masjid Menara Kudus dengan bangunan menara menyerupai candi peninggalan agama Hindu-Budha beridiri tegak di samping bangunan masjid. Menara tersebut mengisyarat kepada akulturasi budaya pendahulu yang lebih awal mengisi ruang-ruang keagamaan dan keberagamaan masyarakat Jawa. Penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa, utamanya di Kota Kudus diperankan oleh Walisongo Sembilan Wali dengan peran masing-masing pada wilayah singgahan atau kawasan dakwah mereka yaitu kawasan Pesisir Utara Pulau Jawa. Di masing-masing kawasan dakwah para Walisongo tersebut mereka dipertemukan dengan kondisi sosial-keagamaan masyarakat yang masing menganut kepercayaan-kepercayaan nenek moyang mereka, Hindu-Budha. Ismawati dalam M. Darori Amin, (ed.,) menjelaskan dalam catatan sejarah ditemukan "mutasi pertama" atau lebih tepatnya disebut indianisasi pada pertumbuhan budaya dan kepercayaan Jawa Hindu-Budha.486 Fakta ini sepenuhnya juga dicatat oleh Slamet Muljana bahwa dari Piagam Canggal yang ditulis dalam Bahasa Sanskerta, bertarikh tahun Saka 654 atau tahun Masehi menjelaskan bahwa Raja Sanjaya memeluk agama Siwa dan berkiblat ke India Selatan. Fenomena keagamaan masyarakat Jawa ini sepenuhnya menjabarkan hakikat dasar kehidupan masyarakat Jawa yang belum sama sekali mengenal ajaran Islam. Menyikapi realitas kemunculan kepercayaan kuno masyarakat Jawa yang berasal dari India, Supratikno Rahardjo menjelaskan bahwa tidak ada keterangan yang jelas mengenai peranan orang India dalam kehidupan keagamaan di Jawa. Namun, satu hal cukup menjelaskan bahwa dalam upacaraupacara tertentu, khususnya yang berkaitan dengan pendirian bangunan suci, raja-raja Jawa Tengah menganggap menganggap penting untuk menghadirkan pendeta-pendeta dari India. Supratikno Rahardjo lebih lanjut menjelaskan sampai kapan para pendeta India menduduki peranan penting pada masa Jawa Tengah tidak diketahui, tetapi jika prasasti-prasasti berbahasa Saskerta dapat dijadikan dasar pijakan atas dasar alasan bahwa golongan ini lebih mengenal bahasanya sendiri, maka pertengahan abad ke-9 mungkin merupakan batas akhirnya. Pola kehidupan masyarakat Jawa Pra-Islam secara niscaya menghadirkan kondisi sosial-keagamaan masyarakatnya yang bernuansakan tradisi Hindu-Budha. Tidaklah mengherankan, Nur Said mencatat bahwa situasi masyarakat Jawa sebelum kedatangan Islam termasuk pula di daerah Kudus, kehidupannya banyak dipengaruhi oleh Sistem Kasta atau perbedaan golongan kelas, sehingga kehidupan masyarakat terpecah-pecah. Mereka yang termasuk golongan Kasta tinggi tidak diperbolehkan bergaul dengan golongan Kasta rendah. Setidaknya dalam catatan ini Nur Said mengemukakan ada 4 (empat) Kasta dalam golongan mereka, yaitu: (1) Brahmana, (2) Ksatria, (3) Waisay, dan (4) Sudra. Kasta Sudra merupakan Kasta yang paling rendah derajatnya. Golongan Kasta inilah yang sering menjadi korban penindasan dari golongan Kasta yang lebih tinggi. Sistem kehidupan sebagaimana tergambar mempersubur pranata sosial yang begitu diskriminatif, tidak ada suasana egalitarianisme. Munculnya beberapa golongan yang diakibatkan oleh indoktrinasi ajaran Hindu-Budha pada masyarakat Jawa Kuno menjadi sebagian sumber yang menegaskan kuatnya ajaran ini di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jawa. Di masa Kerajaan Majapahit sebagaimana dicatat oleh Ismawati bahwa para agamawan senantiasa melaksanakan ritual kerajaan dengan baik dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja. Kraton merelakan hasil surplus dari tidak kurang 27 bidang tanah milik otonom (sima swatantra), antara lain di Kwak dekat Magelang, di Yogyakarta dan Ponorogo yang dianugerahkan kepada rohaniwan Agama Siva dan Budha untuk memohonkan kesejahteraan. Hal itu secara pasti belum terhitung dari tanah lain yang dinamakan tanah milik bebas (dharma lepas) untuk menjadi drwya hyang atau bwat hyang(pajak untuk dewata). Apabila di satu pihak para raja membebaskan tanah milik komunitas agamawan dari pajak, maka di pihak lain mereka memungut pajak dan menuntut kerja rodi dari semua warga desa lainnya yang langsung berada di bawah kekuasaannya. Keluarga raja tidak mungkin hidup tanpa adanya pajak kerajaan (drwya aji) dan tugas-tugas wajib untuk raja (gawai aji) yang mestinya tidak dikenakan pada sima. Tingginya intensitas keagamaan yang muncul dalam tradisi masyarakat Jawa Kuno tidak menjadikan proses akulturasi budaya Islam yang datang ke tengah-tengah kehidupan mereka menghadapi kesulitan signifikan. Sebagaimana halnya Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Muria, mereka dikenal sebagai para Walisongo yang berkenan melakukan kompromisasi terhadap budaya Jawa dalam rangka melakukan penyebaran ajaran baru yang dibawa, yaitu agama Islam. Mengantisipasi munculnya penolakan masyarakat Jawa Kuno terhadap kedatangan agama baru di tengah-tengah mereka, para Walisongo melakukan akulturasi terhadap tradisi lama yang telah berjalan di masyarakat. Denys Lombard mencatat, sebenarnya banyak sekali kepercayaan kuno yang dilestarikan dan bahkan dihidupkan kembali oleh para Walisongo. Salah satu yang paling penting adalah wayang, yang menurut tradisi telah digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan kepercayaan baru. Sunan Giri juga dianggap sebagai penemu wayang gedog, yang mengkhususkan diri dalam kisah-kisah panji, dan Sunan Kudus menemukan wayang golek yang sebenarnya digunakan terutama untuk menampilkan ceritacerita dengan penekanan akan kesinambungan daripada perubahan di zamannya. Semangat akulturasi dengan usaha kompromisasi budaya Jawa Kuno dengan ajaran Islam yang baru datang menjadi gambaran umum penyebaran Islam oleh para Walisongo. Sunan Kudus, sebagai salah seorang wali yang termasuk dalam kalangan ini dengan daerah penyebaran Islam pada Kota Kudus mengusung semangat harmoni ajaran agama dalam rangka menangkal penolakan masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-Budha peninggalan para leluhurnya. Mas'udi mencatat bahwa sejarah pertumbuhan agama Islam di Kota Kudus merupakan salah satu unsur yang mengisi keberislaman masyarakat Jawa. Pertumbuhan agama Islam yang pesat dan harmoni masyarakat yang tercipta menunjukkan keramahan penyebaran agama Islam di wilayah Kota Kudus. Bukti lain yang dapat dianalisa sebagai kekuatan pertumbuhan agama Islam di wilayah Kudus adalah bangunan Masjid Menara Kudus yang telah dibangun pada abad ke-16 tepatnya tahun 1549 M. Menganalisis keramahan Kota Kudus dan penyebaran agama Islam di dalamnya, Denys Lombard mencatat kota ini yang namanya mengacu kepada al-Quds (nama Arab untuk Yerussalem), terutama merupakan kota keagamaan, kota suci, yang mempunyai mesjid besar lagi indah. Para pemimpin Kota Kudus ini--di dalamnya Sunan Kudus yang kondang--adalah guru-guru rohaniah yang membantu penguasa-penguasa Demak dalam usaha mereka menyiarkan agama Islam. Kerohaniawan Sunan Kudus dalam menjelaskan ajaran Islam kepada segenap masyarakat menguraikan kejeniusan dirinya untuk mengusung harmoni ajaran Islam terhadap budaya lokal yang telah mengakar lebih awal. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu seperti rasa takut, rassa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan ghaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Dalam realitas kehidupan beragama, masyarakat akan dipertemukan dengan dinamika kehidupan keagamaan di dalamnya yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat sakral. Dari sakralitas ini mereka dihadapkan kepada keyakinan akan realitas yang dipercaya memiliki kekuatan adi kodrati di luar dari kekuatan dirinya sebagai makhluk. Kepercayaan kepada kekuatan yang memiliki daya magis akan hadir mengisi ruang-ruang kepercayaan dalam kehidupan masyarakat. Sikap hidup magis berarti suatu perlawanan manusia terhadap kekuasaan-kekuasaan yang dijumpainya. Manusia tidak tunduk kepada kekuatan yang dijumpainya, tetapi berdaya upaya menaklukannya. Tidak hanya dipaksanya bumi supaya menjadi subur, binatang supaya dapat ditangkapnya dan musuh supaya bertekuk lutut di hadapannya. Semua itu manusia upayakan dirinya mampu menguasai akan realitas kekuatan terluar dari kekuatan yang mengitari dirinya. Realitas keberagamaan manusia modern mengarahkan dirinya untuk menguasai dunia dengan memusatkan segala kekuasaan ke dalam dirinya sendiri.[29] Melihat realitas beragama masyarakat kudus dapat melalui Menyoroti dimensi keagamaan dan keberagamaan masyarakat Desa Jepang, desa ini cenderung unik untuk dipersepsikan nilai-nilai keagamaan dan keberagamaan masyarakatnya. Keunikan tersebut tampak dari kehidupan masyarakatnya yang masih terlihat abangan dalam progresifitas Kota Kudus yang disinyalir sebagai Kota Santri. Fenomena ini tentu tidak jauh berbeda dengan mayoritas masyarakat Jawa yang pada prinsip keagamaannya cenderung menjadi penganut daripada pemeluk agama, dalam hal ini agama Islam. Bambang Pranowo (2011, hal. 7) atas kutipannya pada penjelasan Koentjaraningrat menjelaskan ketika masyarakat Jawa ditanya tentang keberagamaannya, sebagian besar dari mereka akan menjawab bahwa dirinya penganut Agami Islam (agama Islam). Hal ini lebih lanjut juga dicatat oleh Bambang Pranowo bahwa lebih dari 95 persen dari kurang lebih 55 juta orang Jawa adalah muslim. Meskipun, menurut Ricklefs, masyarakat Jawa kadang-kadang dianggap muslim yang buruk, namun dalam pandangan Ricklefs, pernyataan ini tidak akan membantu seorang pengkaji atas masyarakat Jawa dalam memahami bagaimana perkembangan agama di Jawa, apa saja alasan keunikannya, atau di mana posisinya dalam sejarah Islam atau agama secara umum. Secara sederhana dan dalam pandangan umum, beragama adalah kepercayaan dan perbuatan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan kekuatan atau wujud gaib (relationship between humans and supernatural forces or beings). Dengan demikian, ada hal-hal yang alamiah atau natural dan ada pula yang supernatural. Yang natural, alamiah atau biasa dikenal orang sebagai bagian dari kehidupan beragama. Agama adalah yang berhubungan dengan yang supernatural, yang luar biasa, atau yang gaib. Namun, batas antara apa yang gaib dan nyata, yang supernatural dan yang natural sangat kabur dan relatif (Agus, 2006, hal. 46). Kenyataan ini pula yang menjadikan hipotesis Bambang Pranowo di atas bahwa masyarakat Jawa mayoritas adalah penganut Agami Islam (Penganut Agama Islam) sebagai argumentasi yang cukup relevan bagi kehidupan masyarakat di Desa Jepang Mejobo Kudus. Mengamati realitas keagamaan masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus, memang akan dipertemukan dengan dinamika kehidupan masyarakatnya yang sangat majemuk. Sebagai alasannya, titik relevansi penganut Agami Islami sebagaimana dipersepsikan pada beberapa masyarakat Jawa juga tidak berlaku pada mayoritas masyarakat Desa Jepang. Hal ini sebagaimana Mas'udi (2012) mendeskripsikan struktur kehidupan masyarakat Desa Jepang menjadi tiga bentuk, kyai, santri, dan masyarakat biasa. Tiga bentuk struktur sosial ini tentunya tidak jauh berbeda dari hipotesis Geertz atas masyarakat Jawa yang mengklasifikasikannya menjadi tiga varian, abangan, santri, dan priyayi. Geertz dalam Religion of Java sebagaimana dijelaskan oleh Bambang Pranowo menyebutkan bahwa identitas muslim Jawa dengan merumuskan trikotomi abangan, santri, dan priyayi. Menurut Geertz, tradisi agama abangan, yang dominan dalam masyarakat petani, terutama terdiri dari ritual-ritual yang dinamai slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap roh-roh, dan teori-teori serta praktik-praktik pengobatan tenung dan sihir. Slametan, sebagai ritual terpenting masyarakat abangan, bertujuan menenangkan roh-roh dan untuk memperoleh keadaan slamet---yang ditandai dengan tidak adanya perasaan sakit hati pada orang lain serta keseimbangan emosional. Di lain pihak, kelompok santri diasosiasikan dengan Islam yang murni. Mereka berpengaruh khususnya di kalangan pedagang Jawa serta petani-petani Jawa yang relatif kaya. Ciri tradisi beragama kaum santri adalah pelaksanaan ajaran dan perintah-perintah dasar agama Islam secara hati-hati, teratur, dan juga oleh organisasi sosial dan amal, serta Islam politik yang begitu kompleks (Pranowo, 2011, hal. 8).[30] Namun usaha membangun amal ibadah masyarakat Kudus yaitu dengan tujuan pokoknya menggapai kerelaan Allah merupakan amal ibadah yang telah diajarkan oleh Walisongo. Semangat menyiarkan Islam di tengah-tengah masyarakat Nusantara dilakukan dengan akulturasi budaya lama bersandingan dengan budaya Islam yang baru datang. Sebagai salah satu contoh akulturasi yang masih kental dalam pikiran segenap muslim Nusantara adalah bentuk Menara Kudus yang menyerupai Candi-Candi peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Membangun Menara Kudus serupa Candi-Candi peninggalan Kerajaan Majapahit ini sengaja dilakukan oleh Sunan Kudus dalam rangka mengenalkan agama Islam yang tiada tertutup dengan segala kearifan lokal local wisdom yang ada di suatu wilayah yang disinggahi. Islam tiada pernah menampilkan nilai-nilai konfrontatif atas budaya-budaya lama yang telah mengakar di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ekspresi keislaman sebagaimana dilakukan oleh Sunan Kudus di atas mencerminkan sikap altruistik dirinya bagi keberislaman masyarakat Kudus di zaman penyebarannya. Kanjeng Sunan Kudus tiada pernah berpandangan bahwa ajaran Islam yang akan diajarkannya mutlak sama dengan pola penyebaran Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Kesadaran untuk menyebarkan Islam yang adaptif atas budaya lama masyarakat menjadi pintu lebar masyarakat untuk mengenal Islam yang shaalihun fi kulli zaman wa makan.[31]

     

BAB III

 

PENUTUP

 

SIMPULAN

 

 

  

  

  

  

  

  

  

DAFTAR PUSTAKA  

Abdullah, Muhammad Husain, Mafahim Islamiyah: Menajamkan Pemahaman Islam. (Bangil: Al-Izzah, 2002)  

Abdullah, Taufik, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (edisi terjemah) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991)  

Adz-Dzaky, Hamdani Bakran, Konseling dan Psikoterapi Islam. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004)  

Anshari, Endang Sarfuddin, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987)  

Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan tantangan Globalisasi; mempertimbangkan konsep deprivatisasi Agama" dalam Jurnal ulumul Qur'an no 3/VII.1997  

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan Manusia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-4  

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Cet. 15  

Daud, Ali Mohammad, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. I  

Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1998)  

Husain, Machnun, Pengantar Psikologi Agama (edisi terjemah.), (Jakarta: Rajawali Press, 1992)  

Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia & UMM Press, 2002)  

Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996)  

Jandra, M.,  Islam dalam konteks Budaya da Tradisi Plural, dalam buku Agama dan Pluralitas Budaya lokal, editor Zakiyyudin Baidhay dan Mutohharun Jina UMS Press 2022  

Mas'udi, Antropologi Walisongo: Akulturasi Budaya Islam terhadap Keberagamaan Masyarakat Kudus dalam Diseminasi Harmoni Ajaran Islam Sunan Kudus, Sub Tema Nusantara Islamic Civilization: Value, History, and Geography, Buku 3 Paper Proceding AICIS XIV - Balikpapan 2014, p. 196-207  

Mas'udi, Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat Kontemporer Menurut Seyyed Hossein Nasr, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013, p. 305-334  

Mas'udi, Perubahan Paradigma Beragama (Analisis Perubahan Pemikiran Keagamaan Masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus), Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 2, 2016, p. 228-242  

Mas'udi, Pesan Altruistik Puasa Walisongo, Dalam Artikel Radar Kudus Edisi Tahun 2016  

Menzies, Allan, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum, 2014)  

Najati, M. Utsman, Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1985)  

Norman, Ahmad (ed.), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)  

Poespowardojo, Soerjanto, Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia, (1978: 3)  

Razaq, Nasrudin, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma'arif, 1987), Cet. VII  

Robertson, Roland, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (edisi terjemah) (Jakarta: PT. Kerja Grafindo Persada, 1993)  

Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al- Qur'an. (Bandung: Alfabeta, 2009) 


  
 Foot Notes

[1]  Endang Sarfuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) hlm. 122-123

   

[2] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Ghalia Indonesia & UMM Press, 2002) hlm. 30.

   

[3] Ali Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. I, hlm. 46

   

[4] Nasrudin Razaq, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma'arif, 1987), Cet. VII, hlm. 7.

   

[5] M. Utsman Najati, Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 39.

   

[6] Soerjanto Poespowardojo, Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia, (1978: 3)

   

[7] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), Cet. 15, hlm. 107.

   

[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Wisata Pemikiram dan Kepercayaan Manusia), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), Cet. Ke-4, hlm. 2

   

[9] Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1998) hlm. 34

   

[10] Ahmad Norman P. (ed.), Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 9

   

[11] Allan Menzies, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum, 2014), hal.11

   

[12] Ibid., hal. 321

   

[13] Mas'udi, Perubahan Paradigma Beragama (Analisis Perubahan Pemikiran Keagamaan Masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus), Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 2, 2016, p. 228-242

   

[14] Hamdani Bakran Adz-Dzaky. Konseling dan Psikoterapi Islam. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004), hal.13

   

[15] Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al- Qur'an. (Bandung: Alfabeta, 2009), hal. 23

   

[16] Muhammad Husain Abdullah. Mafahim Islamiyah: Menajamkan Pemahaman Islam. (Bangil: Al-Izzah, 2002), hal. 13

   

[17] Mas'udi, Perubahan Paradigma ...., Op. Cit.,

   

[18] Mas'udi, Implikasi Perenial Islam Terhadap Keberagamaan Umat Kontemporer Menurut Seyyed Hossein Nasr, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan Vol. I, No. 2, Juli-Desember 2013, p. 305-334

   

[19] M. Jandra, Islam dalam konteks Budaya da Tradisi Plural, dalam buku Agama dan Pluralitas Budaya lokal, editor Zakiyyudin Baidhay dan Mutohharun Jina UMS Press 2022. hlm 1-3

   

[20]  Ibid.,hal.4

   

[21] Bahtiar Effendi, Masyarakat Agama dan tantangan Globalisasi; mempertimbangkan konsep deprivatisasi Agama" dalam Jurnal ulumul Qur'an no 3/VII.1997, hlm.43

   

[22] Mas'udi, Implikasi Perenial....., Op. Cit,.

   

[23] Ibid.,

   

[24] Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (edisi terjemah) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 92-93.

   

[25] Roland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (edisi terjemah) (Jakarta: Kerja Grafindo Persada, 1993), hlm. 291.

   

[26] Ibid., hlm. 295-297.

   

[27] Machnun Husain, Pengantar Psikologi Agama (edisi terjemah.), (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hlm. 29.

   

[28] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm, 214-222.

   

[29] Mas'udi, Antropologi Walisongo: Akulturasi Budaya Islam terhadap Keberagamaan Masyarakat Kudus dalam Diseminasi Harmoni Ajaran Islam Sunan Kudus, Sub Tema Nusantara Islamic Civilization: Value, History, and Geography, Buku 3 Paper Proceding AICIS XIV - Balikpapan 2014, p. 196-207

   

[30] Mas'udi, Perubahan Paradigma ...., Op. Cit.,

   

[31] Mas'udi, Pesan Altruistik Puasa Walisongo, Dalam Artikel Radar Kudus Edisi Tahun 2016

   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun