Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan polapola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut agama (religious).[1] Ensiklopedi Islam Indonesia menyebutkan, bahwa agama4 berasal dari kata Sansekerta, yang pada mulanya masuk ke Indonesia sebagai nama kitab suci golongan Hindu Syiwa (kitab suci mereka bernama Agama). Kata itu kemudian menjadi dikenal luas dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi dalam penggunaannya sekarang, ia tidak mengacu kepada kitab suci tersebut tetapi dipahami sebagai nama jenis bagi keyakinan hidup tertentu yang dianut oleh masyarakat, sebagaimana kata dharma (juga berasal dari bahasa Sansekerta). Lepas dari masalah pendapat mana yang benar, masyarakat beragama pada umumnya memang memandang agama5 itu sebagai jalan hidup yang dipegang dan diwarisi turun-temurun oleh masyarakat, agar hidup mereka menjadi tertib, damai dan tidak kacau.[2]
Agama Islam adalah agama terakhir, agama keseimbangan dunia akhirat, agama yang tidak mempertentangkan iman dan ilmu, bahkan menurut sunnah Rasulullah, agama yang mewajibkan manusia baik pria maupun wanita.[3] Allah SWT telah mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan yang tinggi, kesempurnaan yang mana meliputi segi-segi fundamental tentang duniawi dan ukhrowi guna menghantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir dan batin serta dunia dan akhirat.[4] Setiap manusia pasti ada dorongan untuk beragama. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang mempunyai landasan alamiah, dalam watak kejadian manusia dalam relung jiwanya, manusia merasakan adanya suatu dorongan yang mendorong untuk mencari dan memikirkan Sang Pencipta.[5]
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi oleh negara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain, setiap orang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. Menurut Soerjanto Poespowardojo bahwa untuk memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard dalam karyanya Either/Or sebagaimana dikutip oleh Poespowardojo dalam buku tersebut, bahwa manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, manusia yang demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya.[6]
Islam bersama-sama dengan Nasrani dan konghucu menjadi pilar keberagamaan di kota Kudus. Penanaman keberagamaan harus dimulai dari masa anak-anak penanaman atau perasaan keberagamaan akan melekat dalam diri dan alam pribadi anak, ketika anak mengenal agama sejati dari kecil. Pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya, orang tua tidak hanya membekali anak dengan pengetahuan agama, atau mengembangkan intelek anak saja tanpa mengisi dan menyuburkan perasaan agama, akan tetapi penanaman keberagamaan menyangkut keseluruhan diri pribadi anak, mulai dari latihanlatihan (amaliah) sehari-hari yang sesuai dengan ajaran agama, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam semesta, serta manusia dengan dirinya sendiri.[7
Rumusan Masalah
Â
Apa yang dimaksud dengan agama dan manusia ?
Â
Apa yang dimaksud dengan harmoni dalam keberagaman ?
Masyarakat sebagai manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia yang mempunyai harkat dan martabat yang melekat didalam diri setiap manusia yang harus dilindungi dan dijunjung tinggi oleh negara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan kata lain, setiap orang berhak dan wajib diperlakukan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Manusia adalah Makhluk yang berakal budi/insanulkamil artinya makhluk yang paling Sempurna. Menurut Adz-Dzaky manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek jasmaniyah lebih-lebih rohaniyahnya. Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka bumi ini[14] Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan Allah SWT. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT.[15] Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak menjelaskansecara rinci. Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT.[16]Â
Manusia dalam pandangan Islam tediri atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Jasmani manusia bersifat materi yang berasal dari unsur-unsur sari pati tanah. Sedangkan roh manusia merupakan substansi immateri, yang keberadaannya dia alam baqa nanti merupakan rahasia Allah SWT. Proses kejadian manusia telah dijelaskan dalam Al Qur'anul Karim dan Hadits Rasulullah SAW. Dari beberapa uraian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa manusia menurut pandangan islam adalah makhluk yang paling sempurna (insan kamil) yang pernah di ciptakan olleh Allah SWT karena manusia mempunyai hati, perasaan dan akal.
 Kehadiran agama dalam kehidupan manusia (sebagai masyarakat) merupakan pedoman berharga bagi perjalanan kehidupan mereka. Masyarakat dengan keyakinannya atas suatu agama akan dihantarkan kepada kesadaran bahwa orientasi kehidupannya akan menjadi terarah seiring dengan orientasi dasar dari hakikat agama yang diyakini. Agama akan memberikan ruang komunikasi efektif di antara manusia dengan penciptanya. Kesadaran komunikasi antara manusia dengan penciptanya akan seutuhnya terwujud ketika manusia menyadari arti penting dari agama yang hadir di tengah-tengah kehidupan mereka. Dalam pertumbuhan agama itu sendiri eksistensinya seringkali menjumpai hal-hal yang bernilai kompleks sehingga menuntut pemaknaan yang terarah agar tidak terjadi kesalahan persepsi. Pada pangkalan inilah, Permata (2000, hal. 14) menjelaskan sifat agama sebagai objek kajian, di dalam dirinya sendiri, merupakan sumber dari segala kerumitan usaha studi terhadapnya. Hingga saat ini, belum pernah terjadi kesepakatan di kalangan para pengkaji mengenai batasan agama di mana pangkal dan di mana ujungnya. Agama muncul sebagai fenomena yang kompleks dan cair, tidak gampang untuk dirumuskan. Ia meresap ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia, sehingga kajian terhadap agama selalu akan berhimpitan dengan kajian-kajian bidang lain.[17] Â
Harmoni Dalam Keberagaman
Â
Manusia sebetulnya telah dicipta untuk hidup di dalam dunia yang serupa yang terdapat di dalamnya ada satu matahari di langit sehingga penampakan normal matahari yang satu-satunya di angkasa itu bertalian dengan susunan alami pikiran dan jiwa manusia, dan itulah satu-satunya yang membentuk lingkungan yang alami dan bermakna baginya. Dalam kenyataan ini Nasr menyatakan bahwa dalam lingkungan keagamaan manusia telah dicipta untuk hidup dalam suatu tradisi keagamaan yang homogen. Dalam setiap perjalanan hidup manusia, agama telah memberikan warna yang sangat berarti bagi kehidupan mereka, mengapa berbagai agama senantiasa bertahan dan dianut oleh manusia? Secara antropologis, sosiologis dan psikologis berbagai agama itu bertahan hidup karena agama bisa memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia. Â Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa bumi manusia ini hanyalah satu, sementara penghuninya terkotak-kotak dalam berbagai suku, ras, bangsa, profesi, kultural dan agama. Mengingkari kenyataan pluralitas di atas sama halnya dengan mengingkari kesadaran kognitif manusia itu sendiri. Begitu juga ketika berbicara tentang agama, kata agama selalu tampil dengan bentuk plural (religions). Di balik pluralitas itu terdapat ciri umum yang sama, yang menjadi karakter agama. Dalam kenyataan ini Komaruddin Hidayat mendeskripsikan bahwa membayangkan dalam kehidupan ini hanya terdapat satu agama, rasanya merupakan suatu ilusi belaka.3 Kesucian dari fithrah yang terdapat dalam diri manusia adalah suatu cerminan akan kesamaan konsep penciptaan terhadap manusia itu sendiri. Kalau dilihat dari proses awal penciptaan manusia serta mempelajari kepercayaan mereka, maka yang ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam raya ini.
Dinamika di atas adalah gambaran dari beragamnya kepercayaan umat manusia dari awal keberagamaannya, yang pada akhirnya akan mempertemukan mereka dalam wadah kepercayaannya kepada Yang Abadi yaitu Tuhan Yang Maha Absolut. Argumentasi yang dibangun oleh Quraish Shihab dalam melihat dimensi kesucian fithrah manusia dengan menyatakan bahwa al-Qur'an mengisyaratkan adanya kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa hal tersebut merupakan fithrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami dari firman-Nya dalam surat al-Rum (30): Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) Fithrah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tiada perubahan pada fithrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Â
Realitas kesucian sebagai bagian dari hakikat kehidupan manusia dipandang oleh Nasr sebagai kebangkitan tradisi. Dalam analisa Nasr membangkitkan tradisi serta menyadarkan manusia akan pemenuhan tradisi sebagai bagian dari kesucian  dan menyadarkan mereka akan arti penting dari tradisi, telah memberikan pemenuhan final dan sempurna pencarian manusia kontemporer terhadap penemuan kembali kesucian.
Â
Membangkitkan tradisi sebagai landasan dari kesucian dalam dimensi keagamaan umat adalah keniscyaan yang harus diagungkan. Bukti ini dilandaskan karena agama yang datang dari Tuhan itu memang sempurna dan satu karena Tuhan itu Maha Sempurna dan Maha Tunggal. Akan tetapi, karena agama itu datang untuk umat manusia maka mau tidak mau agama harus mempertimbangkan dan mengakomodasikan sifat-sifat kemanusiaan dengan berbagai dinamikanya. Untuk mewujudkan nilai keseragaman dalam dimensi keagamaan, Frithjof Schuon mengatakan:
Â
Agar agama dianggap tetap ortodoks, ia harus didukung sepenuhnya oleh doktrin yang memadai tentang Yang mutlak. Ia juga harus menjunjung tinggi dan mewujudkan suatu kerohanian yang sesuai dengan doktrin tersebut baik sebagai konsep maupun realitas. Ini berarti ia harus berhulu Ilahi dan karenanya diikuti dengan sakramental atau kehadiran supranatural yang menjelmakan dirinya terutama di dalam mukjizat-mukjizat dan dalam seni sakral. Unsur-unsur formal tertentu seperti tokoh-tokoh rasul dan kejadian-kejadian keramat berada di dalam unsurunsur utama di atas. Oleh karena itu semua ini mungkin yang membedakan dalam signifikansi dan nilai antara satu agama dengan agama lainnya, karena perbedaan manusiawi menjadikan perbedaan semacam itu tidak terelakkan, tanpa menyebabkan timbulnya pertentangan dalam kriteria penting yang menyangkut kebenaran metafisis dan kekuatan penyelamat serta stabilitas manusia.
 Â
Mengembalikan agama dalam wadahnya yang Satu dalam esensinya, yaitu al-Tauhid (keesaan Tuhan), adalah suatu bukti bahwasannya dalam semua agama terdapat visi yang sama. Lebih lanjut, gambaran yang dapat ditelaah kembali adalah realitas keagamaan dalam Islam dan Hinduisme yang memiliki suatu realitas yang sangat berbeda, tidak ada satu nilai pun yang dapat mempertemukannya, apalagi keduanya mempunyai sejarah bentukan yang berbeda. Padahal kedua agama ini, seperti dikatakan kaum perenialis, pada tingkat the common vision mengikuti istilah Huston Smith, mempunyai kesatuan kalau tidak malah kesamaan gagasan dasar yang dalam Islam disebut dengan "pesan dasar agama," (yaitu islam dalam arti generiknya yaitu "sikap pasrah," untuk selalu bertakwa: selalu menghayati kehadiran Tuhan dalam hidup sehari-hari).