Mohon tunggu...
Hibban Ali Yazid
Hibban Ali Yazid Mohon Tunggu... Penulis, Ketua Umum Ormas Gemar Baca 2025-2030

Hibban Ali Yazid namanya. Hibban.ay adalah nama penanya. Penulis buku dan Novel. Ketua Umum Ormas Gemar Baca 2025-2030.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Kamu berjumpa

11 Oktober 2025   09:39 Diperbarui: 11 Oktober 2025   09:39 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari pagi menembus celah jendela kamarku, membangunkan tidur yang terbilang cukup nyenyak. Hari ini berbeda. Ada perasaan campur aduk yang menguasai hatiku, sebuah harapan sekaligus kegelisahan. Aku akan bertemu mereka. Orang-orang yang mengubah hidupku, mengisi kekosongan dengan kehangatan, dan membuatku menyadari betapa berharganya sebuah perjumpaan.

Langkahku ringan menuju stasiun kereta. Tas kecil yang kugendong berisi beberapa hadiah sederhana---cokelat untuk sahabatku, buku untuk keluargaku. Kereta pagi itu ramai, tetapi entah kenapa aku tidak merasa sesak. Sebaliknya, pikiranku dipenuhi kenangan saat pertama kali bertemu mereka.

Dulu, aku hanyalah seorang yang merasa dunia ini tak berpihak padaku. Kehilangan arah dan merasa sendirian. Namun, semuanya berubah ketika aku bertemu Ayahku, yang selama ini jauh, lalu sahabat-sahabatku, yang selalu menyambutku dengan senyum.

Kereta berhenti di stasiun tujuan. Aku menarik napas panjang sebelum melangkah keluar. Di depan stasiun, terlihat sosok pria dengan senyum hangat. Itu Ayahku. Dia melambai dari kejauhan. Perasaan haru menyelimutiku. Kami sudah lama tidak bertemu karena jarak dan kesibukan.

"Akhirnya kamu datang," katanya sambil merangkulku. Dalam pelukannya, aku merasa kembali menjadi anak kecil yang dipenuhi rasa aman.

Kami berjalan menuju kafe kecil di ujung jalan. Di sana, sahabat-sahabatku sudah menunggu. Ada Santi, yang selalu ceria dan penuh kejutan, juga Andre, si pendengar setia. Mereka adalah orang-orang yang hadir di saat aku merasa paling jatuh.

Ketika aku tiba, mereka menyambutku dengan pelukan hangat dan tawa riang. "Kamu makin kurus, Na!" ejek Santi. Aku hanya tertawa kecil, membiarkan mereka berbicara apa saja.

Kami memesan makanan favorit: pizza dan es cokelat. Obrolan mengalir begitu saja, seperti arus sungai yang tenang. Mereka bertanya tentang pekerjaanku, tentang rencana masa depanku, dan aku menjawab semuanya dengan jujur.

"Dulu kamu selalu bingung tentang tujuan hidupmu," kata Andre tiba-tiba. "Sekarang lihat dirimu. Kamu sudah jauh lebih percaya diri."

Aku terdiam sejenak. Memang benar, dulu aku pernah terpuruk. Tetapi dukungan dari mereka membuatku perlahan bangkit. Mereka tak pernah bosan menyemangati, tak peduli betapa sulitnya aku untuk diyakinkan.

Kemudian, Ayah mulai bercerita tentang masa mudanya. Cerita-ceritanya mengingatkanku pada betapa kuatnya dia menjalani hidup sendirian setelah kehilangan Ibu. "Kita semua butuh seseorang, Na," katanya sambil menatapku lembut. "Dan kamu telah menemukan mereka."

Setelah makan, kami berjalan-jalan di taman kota. Suasana begitu menyenangkan. Angin sepoi-sepoi meniup daun-daun, membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar.

Aku dan Ayah duduk di bangku taman, sementara Santi dan Andre bermain layangan di kejauhan. Ayah menggenggam tanganku erat. "Maaf kalau dulu Ayah tidak selalu ada untukmu," katanya pelan.

Aku tersenyum. "Ayah, aku tidak pernah menyalahkanmu. Justru aku bersyukur, karena meski tidak selalu bersama, Ayah tetap menjadi tempatku pulang."

Mendengar itu, Ayah terisak pelan. Aku memeluknya, memberikan ketenangan.

Di kejauhan, Santi berteriak memanggil kami. "Ayo, kita foto bersama!" katanya sambil mengacungkan kamera. Kami pun berkumpul, mengabadikan momen indah itu.

Hari mulai senja, dan waktunya untuk berpisah kembali. Aku menatap mereka satu per satu. Ayah, dengan senyumnya yang penuh kasih. Santi, dengan tawa riangnya yang menular. Andre, dengan ketenangannya yang selalu membuatku merasa nyaman.

"Jangan lupa, kita akan selalu ada untukmu," kata Santi sebelum kami berpisah.

Aku mengangguk. "Dan aku juga akan selalu ada untuk kalian."

Ketika aku kembali ke kereta untuk pulang, aku merasa berbeda. Ada rasa hangat yang mengalir di dadaku, sebuah keyakinan bahwa aku tidak pernah benar-benar sendirian. Mereka adalah titik temu dalam hidupku, tempat aku menemukan arti keluarga dan persahabatan sejati.

Malam itu, saat aku merebahkan diri di tempat tidur, aku menatap langit-langit kamar dengan senyum tipis. Aku berbisik pelan pada diriku sendiri, "Berjumpa denganmu adalah hadiah terbaik dalam hidupku."

"Perjumpaan adalah anugerah yang tak ternilai, karena di sanalah kita menemukan makna dari kehadiran, cinta, dan kebersamaan."

"Titik temu dalam hidup adalah saat-saat di mana kita sadar bahwa orang-orang yang kita temui bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari perjalanan yang membuat kita lebih kuat."

"Hargai setiap momen bersama mereka yang kamu cintai, karena waktu berlalu, tetapi kenangan dan kasih sayang akan selalu hidup di dalam hati."

"Kadang, hidup membawa kita ke jalan yang berbeda, tapi cinta dan persahabatan sejati akan selalu menemukan jalan untuk kembali."

"Berjumpa dengan mereka yang berharga mengajarkan kita bahwa hidup bukan soal berjalan sendiri, tapi saling mendukung dan melengkapi."

TAMAT 

Penulis: Hibban.ay

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun