Vina terdiam sejenak. Wajahnya masih muram.
"Bulan lalu, ayah kan ada urusan keluarga di Surabaya seminggu. Trus ibu pinjem ART-nya Bu Heri untuk ngurus rumah. Tapi aku sama Putri yang nggak cocok mbak. Nggak nyaman lah. Udah gitu masakannya nggak enak lagi. Lebih enakan masakan ayah. Dan keselnya, rumah kan harusnya lebih bersih dan lebih rapi ya, ee .. malah lebih rapi dan lebih bersih kalo ayah ada di rumah. Pokoknya kalo nggak ada ayah itu suasana rumah jadi nggak enak lah mbak," ujar Vina.
Saya tersenyum. "Lha trus akhirnya piye tadi? Ayahmu jadi terima tawaran bosnya?" tanya saya.
Vina menggeleng. "Nggak jadi mbak. Ayah nggak tega, ditangisi sama ibu, sama aku, sama Putri juga," jawab Vina.
Pada akhirnya, sosok Pak Hadi mengajarkan kita tentang kekuatan sejati seorang ayah tidak diukur dari posisi karirnya di luar sana, melainkan dari cinta dan dedikasi yang ia tuangkan di rumah. Perannya sebagai bapak rumah tangga, bukan hanya sekedar mengurus anak atau menyelesaikan pekerjaan rumah, namun ia mendefinisikan ulang makna kehadiran seorang ayah dalam keluarga. Ini menjadi sebuah pekerjaan yang tidak ternilai, dan tidak bisa ditukar dengan apapun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI